Jakarta, suarabali.com – Masih ingat nama Labora Sitorus? Terpidana kasus penimbunan bahan bakar bersubsidi, pembalakan hutan, dan pencucian uang itu saat ini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cipinang, Jakarta Timur.
Bekas anggota Polres Raja Ampat itu dijatuhi vonis oleh Mahkamah Agung dengan hukuman penjara selama 15 tahun dan denda Rp 5 miliar.
“Apalagi dalam kasus saya, terkesan ada rekayasa dan dipaksakan. Mulai dari pelaporan, penyelidikan, penyidikan, penahanan sampai dengan putusan MA,” kata Labora melalui keterangan tertulisnya yang diterima suarabali.com, Senin (7/1/2019).
Labora mengungkapkan, gara-gara kasus tersebut membuat dirinya menderita sakit stroke saat mendekam di penjara. Hingga kini, dia masih menjalani pengobatan secara berkala di luar Lapas Cipinang. “Saya sangat terpukul dengan vonis 15 tahun. Apalagi semula Pengadilan Negeri Sorong hanya memutus dua tahun penjara,” ungkapnya.
Menurut Labora, keanehan proses hukum yang dialaminya, di antaranya tidak adanya Surat Perintah Penahanan (SP2) atas dirinya dalam berkas yang ada di Lapas Cipinang.
“Surat SP2 itu baru diketahui setelah istri saya menanyakan secara tertulis melalui surat kepada Kepala Lapas Cipinang. Padahal, yang sebenarnya SP2 merupakan syarat mutlak yang harus ada untuk menahan seseorang sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 58 Tahun 1999,” papar Labora.
Keanehan lainnnya, kata Labora, kenapa hanya dirinya yang menjadi ‘sasaran’ tanpa ada orang lain yang turut terlibat. Selain itu, Labora mengatakan sejak awal kasusnya nencuat, pihak Komnas HAM juga telah menemukan kejanggalan.
Konmas HAM melalui Keputusan Ketua Komnas HAM No 041/KOMNAS HAM/XI/2015 tanggal 23 November 2015 telah membentuk Tim Eksaminasi yang bertujuan memberikan kekuatan rekomendasi Komnas HAM dalam upaya pemenuhan Hak Asasi Manusia dan penegakan hukum terhadap setiap warga negara.
Labora menjelaskan, Tim Eksaminasi ini telah mengeluarkan Laporan Hasil Eksaminasi dan Putusan Hukum Labora Sitorus pada bulan Desember 2015, yang di antaranya berisi sebagai berikut: Telah terjadi kesalahan fatal dan serius dalam menetapkan subyek hukum yang dapat diminta pertangungjawaban hukum pidana (Error in Persona), yang mengakibatkan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan sampai dengan putusan pengadilan serta pelaksanaan putusan (eksekusi) yang direkayasa dan dipaksakan ( error in procedure) yang pada akhirnya menunjukan adanya penyalahgunaan wewenang (a buse of power) dan pengabaian terhadap perlindungan hak asasi manusia.
Labora menambahkan, Tim Eksaminasi juga berkesimpulan telah tejadi tindak pidana oleh polisi, jaksa, dan hakim yang dalam kriminologi disebut sebagai bentuk kejahatan yang dilakukan oleh negara (state crime) yang melanggar hak asasi dirinya.
Tidak sampai di situ, Tim Eksaminasi juga menyimpulkan bahwa amar putusan MA No. 1081K/PID.SUS sekedar mencocokkan dengan ketentuan pasal 197 KUHAP, maka putusan tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum.
“Atas dasar hasil eksaminasi Komnas HAM tersebut, saya meyakini saya memang telah menjadi korban atas perbuatan yang sebenarnya tidak dilakukannya dan telah dihukum secara semena-mena. Untuk itulah saya maupun keluarga akan terus melakukan perlawanan agar mendapatkan keadilan,” tutur Labora. (Tjg)