*Oleh Muhammad Ridlo Eisy
Modal utama untuk melawan berita hoax adalah akal sehat. Akal sehat mengajarkan bahwa sulit ditemui berita yang benar pada saat banjir informasi. Oleh karena itu akal sehat mengingatkan agar kita tidak cepat percaya pada informasi yang beredar. Apa pun isi informasinya, siapa pun nara sumbernya, apa pun medianya. Kalau tidak yakin kebenaran suatu informasi, jangan ikut menyebarkannya.
Ingat, berita hoax itu mirip narkotik. Pembuat berita hoax itu seperti pabrik narkotik, orang yang turut menyebarkan berita hoax diibaratkan sebagai pengedar narkotik. Baik pabrik narkotik dan pengedarnya akan kena hukuman.
Demikian pula dengan masalah berita hoax di Indonesia saat ini, baik pembuat berita hoax maupun yang mengedarkannya bisa terkena hukuman, baik dengan UU ITE maupun KUHP dan peraturan perundangan lainnya. Bagaimana dengan pembaca berita hoax? Mereka tergolong menjadi korban, karena mereka bisa menganggap salah kepada suatu kebenaran, atau sebaliknya, karena otaknya tercuci oleh berita hoax.
Untuk mengetahui benar atau tidaknya suatu informasi, mau tidak mau, seseorang harus mempelajari isi informasi itu secara kritis. Kita perlu selalu mempertanyakan kebenaran informasi yang ada di hadapan kita, perlu diperiksa ulang, perlu tabayyun.
Keadaan ini tentu saja merepotkan masyarakat, karena mereka tidak boleh cepat percaya pada setiap informasi, dan dampaknya adalah keputusan yang diambil dalam kehidupan sehari-hari juga mengalami kelambatan.
Orang harus berhati-hati dalam mengambil keputusan karena rumus garbage in – garbage out masih berlaku. Jika informasi yang dijadikan masukan untuk mengambil keputusan adalah informasi hoax, maka keputusan yang diambil bisa keliru. Dengan berita hoax, siapa pun bisa terkena halusinasi, yang benar dianggap salah, yang salah dianggap benar, cacing tampak seperti naga, buaya tampak seperti cicak.
Nama besar, bukan jaminan
Biasanya, untuk menilai bobot informasi itu dari nara sumbernya. Namun, nama besar ternyata tidak bisa menjadi jaminan, termasuk nama Presiden, Panglima TNI, Kapolri, dan tokoh-tokoh lain. Ini bukan berarti, Presiden, Panglima TNI, Kapolri itu berbohong, tetapi nama mereka dicatut oleh penyebar hoax.
Sebagai contoh adalah ceramah Panglima TNI Gatot Nurmantyo pada acara Maulid. Walaupun nara sumbernya adalah Panglima TNI, jangan cepat percaya, karena menurut situs www.turnbackhoax.id , berita itu adalah hoax.
Situs turnbackhoax yang dibuat oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia mengumumkan bahwa ceramah Panglima TNI itu hoax pada tanggal 8 Januari 2017, padahal berita itu pernah disiarkan oleh www.suara-islam.com tanggal 11 Desember 2016. Berita itu beredar di grup-grup WA, dan masih dengan mudah dilihat di beberapa blog, namun sudah tidak dapat dilihat lagi di www.suara-islam.com, mungkin sudah dicabut.
Kasus berita ini sudah ramai pada akhir tahun 2016. Misalnya, www.beritasatu.com menyiarkan bahwa “TNI minta Polisi tangkap perekayasa Ceramah Panglima TNI di Petamburan”, pada tanggal 20 Desember 2016.
Dari satu kasus ini terlihat bahwa tidak mudah untuk menyatakan bahwa suatu berita itu tergolong hoax. Berita yang tersiar tanggal 11 Desember 2016, baru mendapat reaksi tanggal 20 Desember 2016, dan disiarkan oleh www.turnbackhoax.id sebulan kemudian. (Saya mendapat alamat situs turnbackhoax.id dari Menteri Kominfo dan Ketua Dewan Pers). Untuk lebih mudahnya, masyarakat dihimbau untuk tidak cepat percaya kepada setiap informasi, siapa pun nara sumbernya.
Tidak semua berita hoax mudah dilacak asal usulnya seperti ceramah Panglima TNI. Banyak sekali berita atau tulisan yang beredar di grup WA yang sulit dilacak lagi. Misalnya berita “Merasa Dikangkangi, Jokowi Tegur Panglima TNI: Dia Sudah Diluar Kontrol” yang disiarkan www.kabarkan.net , tidak bisa dilacak lagi, karena kabarkan.net sudah diblokir.
Orang terpaksa mencari media lain, misalnya di situs republika.co.id, tg 9 Januari 2017, pkl 18.05 WIB, yang menyiarkan berita “Reuters Kabarkan Presiden Jokowi Tegur Panglima TNI Gatot Nurmantyo”. Namun situs viva.co.id pada tanggal 10 Januari 2017, pkl 14.42 WIB menyiarkan berita “Istana Bantah Jokowi Tegur Panglima TNI.”
Jadi jangan cepat mengambil kesimpulan, karena berita yang pertama belum tentu benar.
Periksa media
Oleh karena nara sumber sulit menjadi pegangan, maka kita perlu memeriksa media yang menyiarkannya, apakah media arus utama (mainstream), media abal-abal, atau media yang lain.
Media arus utama mudah dilacak. Media elektronik (radio dan televisi) sudah terdaftar baik di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) maupun Dewan Pers. Aturan untuk media elektronik sangat ketat. Sebagian media cetak terdaftar di Dewan Pers, tetapi banyak pula tidak terdaftar.
Sedangkan untuk media online, hanya sedikit yang terdaftar di Dewan Pers, dan ratusan atau ribuan yang tidak terdaftar di Dewan Pers. Media sosial bukan ranah Dewan Pers, tetapi ranah Kementerian Kominfo dan Polri.
Sampai saat ini media arus utama masih bisa menjadi bahan rujukan, walaupun banyak orang yang kecewa kepada pemberitaannya. Ada penulis yang menyatakan bahwa pilar ke empat di Indonesia telah runtuh, karena beberapa media arus utama yang menyebarkan berita yang akurat. Ada juga keluhan, beberapa stasiun televisi sudah menjadi partisan.
Untuk mengetahui media yang terdaftar di Dewan Pers, silakan kunjungi dewanpers.or.id/perusahaan, kemudian ketik nama media yang ingin diketahui. Jika jawaban dari situs Dewan Pers adalah “no matching records found”, maka itu berarti media tersebut belum terdaftar di Dewan Pers. Itu berarti media tersebut belum memenuhi standar pers nasional sebagaimana diatur oleh UU no 40/1999 tentang Pers. Biasanya media tersebut belum berbadan hukum.
Jika media tersebut belum terdaftar di Dewan Pers, sangat disarankan untuk lebih hati-hati terhadap berita yang disiarkannya, dan sangat disarankan agar tidak men-share, mem-forward, atau mem-broadcast berita pada media itu ke media sosial atau di WA-group. Banyak sekali info yang berasal dari media, khususnya info yang berasal dari media online, yang tidak terdaftar di Dewan Pers disebarkan pada WA-grup. Sekali lagi perlu diingatkan, bahwa turut menyebarkan berita hoax bisa melanggar hukum.
Tidak mudah juga mengetahui situs berita yang dapat dipercaya atau tidak dipercaya, kecuali yang terdaftar di Dewan Pers. Perlu dicatat juga, media yang tercatat di Dewan Pers juga tidak bisa dipercaya seluruhnya, 100%. Namun, kalau media itu melakukan kesalahan, dengan cepat meralat berita yang salah itu.
Seperti halnya turnbackhoax.id yang mengungkapkan berita-berita hoax, dutaislam.com juga menulis berita bahwa ada 208 situs Islam radikal dan hoax yang dihimpun Cyber NU bersama LTN PBNU (tgl 28 Desember 2016). Sepuluh dari 11 situs yang diblokir pemerintah pada tanggal 4 Januari 2017 tercatat di dutaislam.com. (Sampai saat ini situs turnbackhoax.id dan dutaislam.com belum terdaftar di Dewan Pers).
Kembali ke isi informasi
Oleh karena nama nara sumber dan media tidak bisa menjadi pegangan untuk menentukan benar atau tidaknya isi informasi, sahih atau hoaxnya isi informasi, masyarakat perlu meneliti sendiri isi informasi yang mau digunakan sebagai masukan untuk mengambil keputusan.
Salah satu pedoman yang paling mudah adalah judul dari informasi. Jika judulnya terlalu bombastis, dan tidak masuk akal, ada kemungkinan isi informasinya meragukan. Setelah itu mau tidak mau harus membaca isi informasi itu sendiri, dan membandingkan dengan info hasil dari peliputan media yang lain. Ini tentu memakan waktu yang lama, oleh karena itu bagian hubungan masyarakat atau public relations perlu ditambah kapasitasnya.
Yang merisaukan adalah kalau kita berada pada keadaan darurat, harus mengambil keputusan secepat mungkin, padahal semua informasi yang tersedia diragukan kebenarannya, sedangkan tambahan informasi dari berbagai media masih belum tersedia. Dalam keadaan ini setiap orang harus bersiap mempunyai kemampuan sebagai wartawan yang kritis, yang mampu mengambil info yang benar di tengah banjir informasi.***
*Muhammad Ridlo Eisy adalah pengamat media, anggota Dewan Pers 2010=2016.