JAKARTA – RN.COM, Hingar-bingar perayaan kemerdekaan yang ke-71 tahun Indonesia merdeka masih terasa. Kemeriahan itu dirasakan hinggga pelosok negeri tercinta ini. 17 Agustus 1945 adalah hari sejarah bangsa ini, tetapi tau kah anda siapa saja yang menjadi saksi hidup hari Proklamasi itu?
Arsilan, pria baya asal Banten ini memang sebagian dari kita belum mengenal kiprahnya. Pria ini yakin sekali pada ingatannya hingga mampu bercerita secara rinci tentang sejarah dirinya. Kelahiran 1925, beliau mengalami masa-masa sulit penjajahan Belanda saat itu. Perannya dalam sejarah bangsa ini sudah diawali jauh sebelum bangsa ini merdeka. Mantan pejuang PKRI atau yang dikenal pejuang tentara Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia mengaku sangat sangat dekat dengan keluarga Bung Karno. Sehingga, pada saat itu beliau diangkat sebagai staf Rumah Tanggga Kepresidenan. Perannya memang tidak se-istimewa seperti staf Kepresidenan saat ini. Beliau hanya sebagai penjaga dan perawat kebun kediaman Presiden pertama Soekarno jalan Pegangsaan Timur no. 56, yang sekarang lebih dikenal dengan Tugu Proklamasi.
Minimnya dokumentasi sejarah tentang detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1945 memang sangat disayangkan. Melalui sedikit penelusuran cerita Arsilan, detik-detik itu sangat mengharukan sekaligus membanggakan. Beliau mengaku salah seorang yang membantu menyiapkan tiang bendera untuk pengibaran Sang Saka Merah Putih pertamakalinya serta saksi hidup pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan di rumah itu. Tutur Arsilan, bendera telah dipersiapkan oleh Ibu Fatmawati istri Bung Karno, akan tetapi pada saat itu susah sekali mencari besi yang bisa digunakan sebagai tiang karena semua sudah dikuasai oleh tentara Jepang. Sedikit dapat dibayangkan oleh kita betapa menegangkan hari itu dibawah pengawasan Jepang. Sesekali, beliau memperagakan dan menunjukkan posisi taman, tiang bendera dan tokoh-tokoh yang hadir pada saat itu. Tak kalah pentingnya, bapak Arsilan ini juga masih pandai berbahasa Jepang.
Gagahnya Arsilan bercerita dengan seragam dan baret merahnya, hidup yang semakin renta tidak serta-merta me-renta-kan semangat dan kecintaannya pada bangsa ini. Beliau menyengatkan rasa cinta itu dalam hati dan ingatannya walaupun berbanding terbalik dengan kondisi hidupnya saat ini. Jauh dari sejahtera, beliau hanya tinggal disudut gedung Perintis Kemerdekaan persis dilingkungan Tugu Proklamasi. Penghasilan yang tidak tetap, tidak jarang juga beliau mengaku memulung untuk memenuhi kehidupan sehari-hari walaupun bapak Arsilan juga dipercaya sebagai penjaga keamanan Tugu Proklamasi dengan penghasilan terakhir tidak lebih dari Rp. 400.000,-/bulan. Istrinya tercinta telah lebih dulu wafat dan empat orang anaknya sudah hidup mandiri, hanya sesekali Pak Arsilan mengaku dapat pulang kekampung halaman di Banten.
Sosok tangguh seperti Arsilan memang terlupakan oleh sejarah bangsa ini, padahal melalui bapak Arsilan ini kita mampu merajut sedikit-demi sedikit dokumentasi sejarah yang terputus. Sekarang Indonesia sudah 71 tahun merdeka Pak, semoga bapak terus diberikan kesehatan. Berharap penerus bangsa ini tidak pernah melupakan apa yang telah digoreskan oleh para pelaku sejarah seperti sosok bapak Arsilan. (ALVI)