Oświęcim, Polandia, reportasenews.com-Kekejaman terhadap kemanusian, tidak pernah dapat dilupakan dalam sejarah peradaban. Kamp konsentrasi nazi seharusnya menjadi penanda terakhir manusia modern yang tak boleh terjadi lagi di dunia, apalagi di Indonesia.
Sejak menginjakkan kaki di Polandia, hanya ada satu tujuan yang selalu ingin saya kunjungi pertama kali yakni kamp konsentrasi Auschwitz-Birkenau. Entah mengapa dorongan melihat langsung lokasi pembantaian umat manusia atas nama kebencian SARA itu sulit dihilangkan, padahal di Polandia banyak lokasi wisata kelas turis mileniaal yang instagramable.
Udara pagi yang dingin mencapai 4 derajat Celcius, tak menyurutkan kami mencari lokasi kamp konsentrasi itu. Lokasinya kamp Auschwitz-Birkenau sekitar 78 km sebelah barat Kota Krakow yang indah. Tidak terlalu sulit mencari lokasi ini, sebab berbagai peta dan rambu lalu lintas yang dipasang Dinas Pariwisata Polandia membantu kendaraan pribadi mengarah ke salah satu destinasi wisata sejarah tersebut.
Auschwitz adalah nama yang digunakan untuk mengidentifikasi tiga kamp konsentrasi Nazi Jerman utama dan 40-50 sub-kamp. Nama ini diambil dari versi Jerman nama kota Polandia di dekat sana, Oświęcim.

Foto udara kamp konsentrasi Auschwitz-Birkenau yang diambil dari dokumentasi sekutu 1944. (foto: The Guardian)
Auschwitz I, kamp konsentrasi orisinal yang digunakan sebagai pusat administrasi bagi seluruh kompleks itu, dan merupakan tempat kematian sekitar 70.000 orang Polandia, kaum homoseksual dan tawanan perang Soviet.
Auschwitz II (Birkenau), sebuah kamp pemusnahan dan tempat kematian sekitar 1 juta orang Yahudi, 75.000 orang Polandia, homoseksual, dan sekitar 19.000 orang gipsi.
Auschwitz III (Monowitz), yang digunakan sebagai kamp kerja paksa untuk perusahaan IG Farben.
Lokasi kamp itu dekat stasiun kereta api lintas Eropah, dan terletak di tengah-tengah ladang jagung dan hutan-hutan pinus yang menjadi benteng alami sekaligus menutupinya dari pandangan masyarakat Polandia pada masa itu.
Suhu dingin dan angin kencang, membuat tubuh mengigil berjalan sekitar 500 meter dari lokasi kami parkir. Kami berziarah ke Auschwitz II (Birkenau), kamp pemusnahan massal yang terbuat dari kayu-kayu tanpa pemanasan tempat jutaan orang menanti malaikat maut.

Dulu dan sekarang
Bangunan utama dari batu bata merah, masih berdiri kokoh menjadi penanda ketika memasuki gerbang kamp konsentrasi itu. Aura kematian masih terasa, ditambah lagi pekik suara burung gagak bersahutan tak henti-hentinya. Saya membayangkan wajah-wajah para tahanan yang kuyu, badan hanya ditinggal kulit dan tulang menatap putus asa ke arah ladang jagung yang sedang panen namun mereka dikeliling kawat listrik tegangan tinggi (yang digunakan oleh sejumlah tahanan untuk bunuh diri).
“Gue merinding nih masuk ke gerbang ini, bulu tengkuk langsung berdiri,” kata Bagawanti Esti Suyoto atau Bugi.
Siapapun yang memasuki kawasan ini memang “mencium” aroma kematian yang tak lekang oleh waktu, sebab disini pula sekitar 1-1,5 juta jiwa manusia melayang. Mati karena kerasnya udara dingin, kerja paksa, penyiksaan, kekurangan gizi atau kamar gas yang tak mencekik leher.
Auschwitz II (Birkenau) adalah kamp yang dikenal banyak orang sebagai “Auschwitz”. Di sinilah ratusan ribu orang ditahan dan lebih dari satu juta orang dibunuh, umumnya orang Yahudi.
Kamp ini dirancang sesuai dengan konsep fungsionalisme Bauhaus. Konstruksinya dimulai pada 1941 sebagai bagian dari solusi terakhir (Endlösung) orang Yahudi. Kamp ini berukuran 2,5 km. x 2 km dan mampu menampung hingga 100.000 orang.
Disinilah lokasi pemusnahan massal. Untuk itu kamp itu dilengkapi dengan empat krematorium dengan kamar gas. Masing-masing kamar gas dirancang untuk bisa menampung hingga 2.500 orang. Pemusnahan besar-besaran dimulai musim semi 1942-1944.
Kebanyakan para tahanan itu tiba di kamp itu dengan kereta api, seringkali dengan perjalanan yang mengerikan di kereta-kereta sapi yang berlangsung hingga beberapa hari.
Dari 1944 rel-rel kereta itu dibuat hingga masuk ke kamp itu sendiri. Sebelumnya, para tahanan yang tiba disuruh berbaris dari stasiun Auschwitz hingga ke kamp. Kadang-kadang, seluruh kiriman itu segera dikirim ke kamar gas. Pada kali lain, orang-orang Nazi akan melakukan “seleksi”, seringkali oleh dr. Josef Mengele, dengan maksud memilih siapa yang akan segera dibunuh dan siapa yang akan dipenjara sebagai tenaga kerja paksa atau digunakan untuk eksperimen medis.

Anak-anak kecil dipisahkan dari ibu mereka dan ditempatkan dengan perempuan-perempuan yang lebih tua untuk digas, bersama-sama dengan mereka yang sakit, lemah, dan lanjut usia.
Pada September 1941, tentara SS melakukan sejumlah tes gas beracun di blok 11, yang mematikan 850 orang Polandia dan Rusia dengan menggunakan sianida. Eksperimen pertama dilakukan pada 3 September 1941 dan mematikan 600 orang tahanan perang Soviet.
Zat yang menghasilkan gas sianida yang sangat beracun ini dijual dengan merek dagang Zyklon B, dan semula dimaksudkan sebagai pestisida yang digunakan untuk membunuh kutu rambut. Uji coba ini dianggap sukses, lalu dibangunlah sebuah kamar gas dan krematorium dengan mengubah sebuah bungker.
Bayangan kengerian dan kekejaman itu, tidak pernah dilupakan oleh bangsa Polandia juga bangsa Eropah lainnya. Mereka merawat kamp ini, menjadi tujuan wisata edukasi. UNESCO sejak 1979 menetapkan lokasi ini menjadi situs warisan dunia, untuk menghormati para tawanan yang sudah meninggal dan bukti kematian akibat holokaus.
Aura kematian itu memang lekat, suling dihilangkan. Pembunuhan manusia atas nama SARA menimbulkan luka batin yang sulit sembuh. Saya menyaksikan sendiri kasus serupa di Sampit, Kalimantan Tengah, beberapa tahun lalu, kebencian atas satu suku membuat nurani manusia hilang terkubur angkara murka tak terhingga. Kepala hanya bisa tertunduk di depan kamp kematian ini, mengirim doa bagi anak manusia yang tak bisa melepaskan takdirnya di tangan para politis busuk.
Dalam ziarah ini, saya menyaksikan banyak rombongan anak-anak sekolah dari seluruh Eropah terutama dari Jerman, Rumania, Polandia, Belanda, Latvia dan Hungaria. Pelajar setara SMP di Jerman yang datang kesini, diceritakan soal holokaus (pemusnahan ras) ini sesuai fakta yang ada. Pemandu wisata kerap tak menggunakan kata Nazi, namun negeri Jerman, sebagai fakta sejarah pelaku utama pembantaian jutaan nyawa ini.

Kepala hanya bisa tertunduk di depan kamp kematian ini, mengirim doa bagi anak manusia yang tak bisa melepaskan takdirnya di tangan para politis busuk.
Wajah-wajah anak sekolah itu masih lugu, tak ada yang bandel bermain-main dengan gadgetnya selama kunjungannya. Mereka dengan mimik serius mendengarkan penjelasan pemandu wisata dalam bahasa ibunya masing-masing.
“Kami memang diwajibkan tur ke sini, untuk belajar sejarah Jerman,” ungkap Muller, anak ABG Jerman yang mukanya masih jerawatan itu.
Belajar sejarah negaranya sendiri, sesuai dengan fakta yang tersaji di depan mata, tampaknya menjadi upaya meretas masa depan bangsanya yang lebih baik.

Jejeran kawat berduri berlistrik tegangan tinggi yang mengeliling kamp konsentrasi ini, jangan sampai ada lagi di dunia apalagi didirikan di Indonesia.
Orang Indonesia juga perlu belajar dari kamp konsentrasi ini, sebab ini salah satu satu monumen peringatan semangat manusia dalam kondisi mengerikan menolak upaya dari rezim penguasa yang mengobarkan kebencian SARA.
Bunga di tepi jalan berwarna kuning itu cantik di depan Auschwitz, namun aromanya pudar oleh awan kelabu yang menggantung atas kematian jutaan nyawa manusia. Ratusan burung gagak terbang sambil berciut-ciutan membelah awan, bunyinya seperti mengiringi malaikat maut turun ke bumi siap mencabut nyawa. (Hendata Yudha, Oswiecim, Polandia)