Palestina, reportasenews.com – Bekerja di Jalur Gaza Palestina bukan perkara mudah bagi jurnalis. Mereka yang diterjunkan disana sama saja telah teken kontrak siap terluka atau mati ditempat.
Kesulitan terbesar adalah dilokasi ini peluru berterbangan dengan liar, baik peluru karet atau peluru tajam, ratusan kaleng gas air mata ditembakan tiap hari disana.
Tentara Israel akan menyerang siapapun yang ditandai sebagai warga Palestina (atau Arab) dilihat dari ciri muka dan dialek bicara. Siapapun yang ditenggarai sebagai Palestina akan disikat oleh polisi dan IDF militer Israel.
Kesulitan ini membuat banyak jurnalis tidak bisa bergerak bebas. Crew jurnalis yang diterjunkan disana ditentukan oleh pertanyaan mendasar, “Anda Palestina, atau anda Israel?”
Sekalipun jurnalis dikatakan tidak boleh diserang dan ditembak, namun IDF Israel tampaknya memang sekumpulan “tentara monyet” yang tidak mau tahu. Jurnalis adalah sasaran empuk mereka, terlebih jika terlihat mereka sedang melakukan kekejian dan tidak mau diambil gambarnya, maka jurnalisnya ditembak saja sekalian.
Beberapa kantor berita besar dan perwakilan media internasional yang menempatkan staf disana pada umumnya mempunyai komposisi crew liputan terbagi dua, yakni ada jurnalis asli Palestina, dan ada jurnalis yang asli penduduk Israel. Kedua kebangsaan ini bekerja dibawah satu bendera media yang sama, dan berdiri di dua sisi yang berbeda.
Media besar merekrut orang lokal setempat untuk menjadi perwakilan media mereka disana. Crew mereka yang asli Palestina akan meliput wilayah kantong utama penduduk Palestina ditanah jajahan. Sedangkan jurnalis asli Israel hanya akan meliput disisi kota yang dikuasai penjajah Israel.
Cara ini memang boros crew liputan dilapangan. Tapi terbukti ampuh selama 20 tahun terakhir ini untuk mendapatkan hasil liputan dikedua sisi, baik sisi Palestina dan sisi Israel.
Ketika perbatasan disekat oleh tembok tinggi dan pagar kawat berduri, maka untuk keperluan transfer hasil liputan seringkali harus dilakukan dengan transfer tangan ke tangan melalui pintu gerbang perbatasan antara wilayah Israel dan Palestina. Tidak semua hasil liputan bisa dikirimkan melalui internet.
https://www.instagram.com/p/BcwVjZWlB__/?taken-by=eye.on.palestine
https://www.instagram.com/p/BchEgKWl_8N/?taken-by=eye.on.palestine
Sekitar 20 tahun silam ketika jurnalis TV masih bekerja memakai kamera kuno jenis Betamax, transfer pengiriman kaset liputan dilakukan dipintu perbatasan antara wilayah jalur Gaza dan Israel, atau dipindahkan kenegara tetangga terdekat.
Dimasa lalu, belum ada teknologi convert file video liputan TV menjadi MPEG 4 seperti dijaman ini, jadi cara manual harus dilakukan dengan mengirim utuh dua atau lima kaset Betamax melalui pintu perbatasan memakai kurir.
Bekerja dilingkungan kerusuhan bukan pekerjaan ringan. Selalu ada resiko didepan mata siap menerkam. Walaupun memakai rompi anti peluru dan helm balistik, toh tentara Israel memang membabi buta menyikat siapapun. Mereka tidak segan membunuh jurnalis, bahkan anak kecil dan demonstran cacat diatas kursi rodapun akan mereka tembak mati ditempat. (Hsg)