Pasuruan, reportasenews.com – Sosialiasi tentang penggunaan bio gas dari kotoran sapi sebagai pengganti Bahan Bakar Minyak (BBM) dan LPG yang digagas dan terus dikembangkan oleh Hariyanto, warga Desa Gendro, Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan, Jatim, terus mendapatkan respon positif dari masyarakat Tutur, hingga luar Pulau Jawa, bahkan masyarakat Internasional banyak yang tertarik.
Gagasan cemerlang tersebut, juga berimbas pada warga Desa Balunganyar Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan, menjadi desa mandiri energi dengan memanfaatkan limbah ternak menjadi bio gas, lantaran populasi sapi di pesisir pantai utara ini cukup signifikan. Sehingga kebutuhan energi warga untuk memasak dipenuhi dari usaha teknolgi bio gas yang dikelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) setempat.
Dengan populasi ternak sapi yang mencapai sebanyak 7.825 ekor, limbahnya menjadi masalah bagi warga di lingkungan Desa Balunganyar, yang selama ini kerepotan untuk membuang kotoran hewan tersebut. Bahkan setiap harinya menumpuk. Banyaknya limbah harus segera diatasi dan dimanfaatkan menjadi lebih bermanfaat, baik secara ekokomi maupun kesehatan masyarakat sekitar yang tak terkontaminasi.
Pada 2009 lalu, pemanfaatan limbah dimulai dengan membangun instalasi teknologi pengelolaan bio gas menggunakan dana dari alokasi dana desa (ADD). Karena hasilnya lumayan dan menjanjikan, pada 2015 teknologi bio gas ini dikembangkan lebih besar dengan menggunakan dana desa. Bahkan dana untuk kepentingan warga desa ini, cukup bermanfaat untuk lebih mensekahterakan warga desa.
Untuk biaya perawatan instalasi bio gas dan pengembangannya, pemerintah desa bersama para tokoh setempat, sepakat membentuk BUMDes untuk mengelola teknologi bio gas yang dimilikinya itu. “Limbah sapi ini menjadi berkah bagi kami seluruh masyarakat Desa Balunganyar, melalui instalasi teknologi yang saat ini kami miliki. Karena masyarakat bisa lebih hemat memenuhi kebutuhan energinya untuk memasak, ”ujar Kepala Desa Balunganyar, Sholeh, Jumat (24/11).
Desa Balunganyar, Kecamatan Lekok Kabupaten Pasuruan ini, memiliki penduduk sebanyak 7.225 jiwa tersebar di delapan dusun. Menariknya, jumlah populasi sapinya ternyata lebih besar dibanding jumlah penduduk, yakni sebanyak 7.825 ekor. Dengan menggunakan dana desa, dibangunlah sebanyak 11 unit instalasi teknolgi bio gas dan saat ini instalasi itu terus dikembangkan dan diperbanyak.
Sedangkan biaya investasi untuk membangun instalasi itu sebesar Rp 22 juta setiap unitnya. Instalasi yang dibangun itu berupa bak penampungan limbah seluas 4×4 meter, dilengkapi penutup mirip kubah. Selanjutnya dari instalasi itu dipasang pipa dan didistribusikan ke rumah-rumah warga.
“Kami bersama masyarakat akhirnya membentuk BUMDes, untuk mewujudkannya, “tandasnya.
Selain itu, program tersebut mendapat dukungan penuh dari warga desa sekitar. Sesuai kesepakatan bersama, tiap keluarga yang mendapat pasokan bio gas dari instalasi itu, ditarik iuran sebesar Rp 7.000 setiap bulannya, untuk biaya perawatan dan pengembangan. “Yang dibayar itu jauh lebih hemat dari pada warga menggunakan LPG. Sehingga warga menyadari dan sepakat untuk mewujudkannya, ”jelas Sholeh.
Menurut Sholeh, untuk kebutuhan memasak, sebelumnya warga harus mengeluarkan uang sekitar Rp 60.000 setiap bulannya untuk membli 4 tabung LPG ukuran 3 kilogram. Namun saat ini hanya cukup membayar Rp 7.500 setiap bulan. Selain lebih ekonomis dan hemat, dengan teknolgi bio gas itu, membuat lingkungan terutama kandang ternak sapi kian bersih dan baunya juga mulai berkurang imbas program itu.
Tumpukan kotoran ternak tak tercecer di halaman rumah-rumah warga maupun sungai yang mengalir di desa itu. Kata Sholeh, sekarang sudah jauh berkurang. Makanya kami tengah merencanakan membangun lagi 10 unit instalasi bio gas. “Bukan hanya itu, dengan pengelolaan instalasi teknologi bio gas itu, limbah sapi yang telah diolah juga masih bisa digunakan untuk pupuk kandang atau pupuk organik. Juga akan dikelola BUMDes setempat. (abd)