Jakarta, reportasenews.com-Lantang mengeluarkan fatwa-fatwa haram, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tampaknya mengalami ujian berat setelah satu satu bendaharanya Fahmi Darmawansyah,  menjadi buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Fahmi Darmawansyah merupakan Direktur PT Melati Technofo Indonesia (MTI) yang menjadi tersangka korupsi proyek pengadaan alat monitoring satelit Badan Keamanan Laut (Bakamla) sebesar Rp 15 miliar kepada Deputi Informasi dan Hukum Badan Keamanan Laut (Bakamla), Eko Susilo Hadi.
Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, “Sampai saat ini Fahmi belum juga menyerahkan diri ke KPK. Ia berada di luar negeri dan diduga bersembunyi. Fahmi akan ditetapkan sebagai buronan oleh penegak hukum,â€.
“Dia benar pengurus kami. Bendahara. Tetapi sejak ditetapkan sebagai pengurus di Munas Surabaya itu seingat saya baru sekali dia datang dalam rapat-rapat pimpinan,” ujar Waketum MUI Zainut Tauhid kepada pers di Jakarta, Jumat (23/12).
Kasus yang melibatkan Bendahara MUI 2015-2020 ini terjadi usai Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan pada Rabu 14 Desember 2016. Dalam OTT, tim satgas KPK mengamankan uang Rp 2 miliar dalam bentuk pecahan valuta asing Dollar Singapura dan Dollar Amerika Serikat yang diduga untuk suap Pejabat Bakamla. Rencananya suap yang diberikan adalah 7,5 persen dari total nilai proyek yang mencapai Rp 200 miliar atau senilai Rp 15 miliar.
Ia diduga melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 99 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Setelah kasus ini mencuat, apakah pengurus MUI lupa bahwa lembaga itu telah mengeluarkan fatwa haram tentang korupsi pada 29 Juli 2000 yang ditandatangani Ketua MUI K.H. M.A. Sahal Mahfudh?
(tat)