Semarang, reportasenews.com – Penyandang tuna rungu, tentu ingin bisa berkomunikasi dengan orang lain. Baik sesama tuna rungu atau dengan orang bisa mendengar.
Jika sebelumnya pemerintah membakukan SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia), maka saat ini, penyandang tuna rungu memperjuangkan agar Bisindo (Bahasa Isyarat Penyandang Tuli Indonesia) bisa dijadikan standar dalam berkomunikasi.
SIBI dibuat oleh pemerintah, dibantu oleh guru-guru SLB B. Tidak demikian dengan Bisindo, yang diciptakan oleh penyandang tuna rungu.
Menurut Mahendra Teguh Priswanto, wakil ketua DPC Gerkatin (Gerakan untuk Kesejahteraan Tuli Indonesia) Semarang, Bisindo lebih praktis.
“Misal, kata mencuci. Jika menggunakan SIBI harus ada dua gerakan. Untuk awalan dan kata cuci.
Sedangkan dengan Bisindo hanya menggunakan gerakan mengucek saja,” kata Mahendra, di Semarang, Senin (8/5).
Ratripuspita Noor Jasmina atau biasa dipanggil Mine, seorang juru bahasa isyarat menyampaikan bahwa dalam Bisindo tergambar adanya linguistik dan budaya tuli. “Saat ini Bisindo mulai banyak diajarkan kepada msyarakat, ” jelas Mine.
Di Jakarta, pada hari Minggu pagi di Bundaran Hotel Indonesia, pemuda-pemudi tuna rungu dengan sabar mengajarkan Bisindo kepada pengunjung CFD yang berminat.
Upaya mengenalkan bahasa Bisindo, terus dilakukan pada setiap kesempatan.
Indah bukan bila ada sesama manusia saling membantu berkomunikasi. (rin/tat)