JAKARTA, REPORTASE-Pernah nonton film Ada Apa Dengan Cinta? Tentu ingat kan, tentang scene Rangga mengajak Cinta mencari buku puisi di los buku-buku murah, di Terminal Senen. Ah…..Romantis sekali adegan itu.
Jika Anda membayangkan menjadi Rangga, si pujangga cinta, ya sekali-kali datanglah ke sentra buku antik dan langka di sekitaran perempatan Pasar Senen, Jakarta Pusat.
Siang itu, saya kembali ke Kwitang, di tengah hembusan angin menjelang hujan. Tepatnya, saya datang ke kawasan penjualan buku-buku bekas, atau “bajakan†yang terhampar di sepanjang Jalan Prapatan Raya.
Pencarian saya mengenai kwitang, adalah perjalanan nostalgia berburu buku ketika masih pertama kali datang ke Jakarta. Saya orang udik, yang datang ke Jakarta dan tidak begitu tahu dimana mencari buku yang masuk akal kantong ketika masa kuliah tahun awal 1987.
Banyak bangunan yang berubah di sana. Ada jalan layang yang semakin ramai membelah Jalan Prapatan, Kwitang dan Jalan Senen Raya. PPD yang kala itu mendominasi transportasi, sudah menghilang digantikan jalur busway.
Yang masih belum banyak berubah, hamparan toko buku murah tidak lagi mendominasi trotoar jalanan. Sekarang trotoar sudah bersih, mereka berjualan di dalam toko yang semakin kecil ukurannya. Namun buku diktat untuk mahasiswa, atau buku-buku langka, ini masih jadi tempat perburuan yang menarik.
Riwayat Kwintang begitu panjang. Sebagian orang sepakat bahwa Toko Gunung Agung, yang bisa dikatakan pemula ihwal jual menjual buku di daerah Kwitang. Toko yang didirikan oleh pengusaha Tionghoa bernama Tjio Wie Tai pada tahun 1953 ini lambat laun menjadi toko terkenal.
Lelaki yang kemudian hari berganti nama menjadi Mas Agung juga dekat dengan Bung Karno. Buku-buku karangan beliau pun diterbitkan. Seperti Di Bawah Bendera Revolusi (jilid 1&2) dan lain-lain. Nama Gunung Agung sendiri diambil dari terjemahan nama, Wie Tai, yang berarti ‘Gunung Besar’, merujuk nama Tionghoa pendirinya.
Sampai kini, di trotoar Kwitang, masih dijual buku akademik, pelajaran sekolah, majalah bekas, novel-novel luar negeri, buku import dll. Buku ini didapat mereka dari para penerbit yang menjualnya dengan partai besar. Tak jarang pula buku yang dijual adalah buku bajakan, roman picisan atau kwalitas dua.
Umumnya para pembeli adalah mahasiswa yang berasal dari kelas menengah ke bawah. Harga yang ditawarkan bervariasi, mulai dari Rp. 5.000 hingga Rp 50.000 per buku.
Menjelang sore, saya membayangkan menjadi Rangga, si pujangga cinta, setelah membeli buku puisi Chairil Anwar. (tat)