Oleh: Kombes Pol Dr Chrysnanda DL
JAKARTA, REPORTASE – Dalam relief borobudur diceriterakan tentang burung Manyar dan Monyet. Dua hewan yang berbeda bentuk maupun karakternya dikisahkan bahwa si burung Manyar yg omdo (omong doang) tidak mau membantu. Isinya hanya menyalahkan dan mengkritik bahkan menghakimi.
Dan Monyet yang udeng (utek dengkul : otaknya di dengkul) yang malas dan hanya tahunya makan saja.
Burung Manyar yang selalu rajin bekerja keras, selalu mengumpulkan makanan dan membangun rumahnya pada saat musim kemarau, mempersiapkan diri saat musim hujan tiba. Sebaliknya, si Monyet yg tahunya makan, malas bekerja, tidak pernah mempersiapkan diri untuk di musim hujan. Tidak peduli dengan diri maupun lingkungnya. Pikiranya pendek tidak berpikir panjang.
Pada saat musim hujan tiba, jadilah rumah si burung Manyar yang hangat untuk berlindung disaat hujan lebat. Sebaliknya Monyet kedinginan menggigil karrna badanya basah kuyup kena hujan.
Di saat Monyet kedinginan, si burung Manyar memberi nasihat, setengah menghina bahkan menghakiminya sebagai binatang bodoh dan malas. Si Monyet tentu saja marah dan tanpa berpikir panjang ia mencakar-cakar rumah burung Manyar itu.
Dan rusaklah rumah si burung Manyar. Ketika hujan lebat turun mereka sama-sama kedinginan, sama-sama menggigil karena badanya basah kuyup.
Ceritera burung Manyar yang omdo dan Monyet yang udeng merupakan refleksi betapa pentingnya berbela rasa, merasa paling benar, paling baik, paling bijak merupakan sumber petaka.
Tatkala cara-cara anarkis ,merusak menjadi pilihan utama, merefleksikan tingkat kecerdasan dan peradaban yang rendah. Dampaknya sama-sama rusak semua tidak bisa menikmati dan sama-sama menderita akibat kehancuran.
Akankah kita meniru cara-cara mereka menyelesaikan masalah dengan cara omdo dan udeng ? Semoga tidak. (Redaksi)