Situbondo, repportasenews.com – Tradisi budaya berupa adu kekuatan dan saling memukul menggunakan sebuah rotan, diyakini sebagai tolak balak bencana alam, khususnya bagi warga Situbondo.
Tradisi ini juga diyakini dapat menciptakan kerukunan antar warga desa. Tradisi ojung ini merupakan puncak dari ritual selamatan desa. Budaya ini sudah menjadi warisan nenek moyang yang hanya ada di Desa Bugeman Kecamatan Kendit, Situbondo, Jawa Timur.
Satu per satu para petarung unjuk kebolehan memainkan senjata rotan untuk mencambuk badan lawan. Setiap petarung diberi kesempatan tiga kali mencambuk badan lawan secara bergantian. Saat bersamaan petarung satunya juga harus pintar menangkis cambukan lawan juga dengan rotan. Siapa cambukannya paling banyak mengenai badan lawan, dialah pemenangnya.
Untuk masyarakat Desa Bugeman, Kecamatan Kendit, ojung menjadi salah satu ritual setiap melaksanakan selamatan desanya. Lokasi pelaksanaannya pun juga sudah ditentukan harus di Dusun Belengguen.
Konon, ritual ojung itu menjadi kewajiban, selamatan desa atas petuah para pembabat desa setempat, pada abad ke 13 silam. Sehingga menjadi tradisi turun menurun yang hingga kini masih dipertahankan.
Menurut kepala Desa setempat, ojung biasanya menjadi ritual meminta hujan. Tapi di Desa Bugeman tidak sekedar itu, sudah menjadi kewajiban ritual setiap selamatan desa.
“ini tradisi turun temurun yang sudah dilakukan warga. Sebab, jika tidak dilaksanakan desa ini diyakini akan rawan dengan terjadi  bencana. Oleh karena itulah, setiap tahun ritual ojung dilaksanakan,†kata Udid Yuliasto, Kepala Desa Bugeman, Kecamatan Kendit, Situbondo, Jawa Timur Selasa (27/12).
Pantauan reportasenwes.com dilapangan, pagelaran ojung dalam rangka selamatan cukup menarik perhatian. Ribuan warga dari berbagai desa di Situbondo memadati lokasi acara. Mereka rela berdesakan untuk menyaksikan kebolehan setiap petarung yang berlaga di atas ring.
Tidak hanya dari masyarakat Kecamatan Kendit saja, para petarung juga berdatangan dari berbagai daerah lainnya, seperti Kecamatan Panji, Panarukan. Bahkan, sebagian peserta diketahui berasal dari Kabupaten Bondowoso dan Probolinggo.
Layaknya pertarungan tinju, sebelum bertanding wasit selalu membacakan peraturan kepada setiap petarung. Hanya bedanya pertarungan ojung dilakukan tanpa ronde. Para petarung juga diwajibkan mengenakan sarung dan berpeci. Setiap petarung hanya diberi kesempatan tiga kali memukulkan cambuk rotan di tangannya ke badan lawan.
Setiap selesai mencambuk, wasit dan juri akan menandai bekas pukulan di badan lawan dengan coretan spidol. Tak jarang para petarung menari kegirangan saat cambukannya masuk ke badan lawan. Meski meninggalkan luka memar akibat pukulan cambuk, para petarung mengaku senang bisa tampil di even tersebut tanpa menyimpan dendam kepada lawannya.
Sementara itu, Agus Fauzi, staf ahli Pemkab Situbondo yang mewakili Bupati Situbondo H Dadang Wigiarto yang membuka dan menyaksikan pagelaran ritual ojung tersebut mengatakan, ojung menjadi tradisi khas Situbondo yang harus terus dilestarikan.
†Tradisi ojung juga pernah membanggakan nama Kabupaten Situbondo saat tampil di even budaya nasional di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta, beberapa waktu lalu,â€ujar Agus Fauzi.
Menurutnya, karena tradisi ojung ini merupakan budaya khas Kabupaten Situbondo, Pemkab Situbondo mengucapkan terima kasih kepada Kepala Desa Bugeman, Kecamatan Kendit, yang masih tetap mempertahankan tradisi ojung ini.(fat)