Paris, Perancis, reportasenews.com-Bagi saya, hanya ada satu titik lokasi yang membuat adrenain berdenyut kencang ketika menginjakkan kaki di Paris, yakni di Museum Louvre. Ini adalah museum kelas wahid yang wajib dikunjungi semua pengelana pecinta keindahan dan budaya di dunia.
Setelah puas berjalan kaki melewati tiga monumen Paris, dari Menara Eiffel ke Arc de Triumphe Champ Ellysees kami memutuskan hanya menghabiskan waktu seharian di Louvre. Ini adalah lokasi yang paling mudah di jangkau, ada tiga Stasiun Metro bawah tanah yang persis di samping gedungnya. Dari Stasiun Metro Gallieni, kami hanya perlu ganti kereta sekali langsung tiba di tujuan.
Bak laron keluar ada musim hujan, bersama ratusan turis lainnya kami nongol di Stasiun Metro Royal Palais, bagian samping Louvre. Angin dingin yang kencang, mendorong kami segera memasuki komplek museum yang dahulu merupakan istana kerajaan Perancis.
Benteng Indah
Istana Louvre (Palais du Louvre) awalnya merupakan benteng yang dibangun pada abad ke-12 di bawah pemerintahan Philip II. Sisa-sisa benteng dapat dilihat di ruang bawah tanah museum. Bangunan ini diperluas beberapa kali hingga membentuk Istana Louvre sekarang ini.

Louis XIV, si Raja Matahari, meninggalkan Louvre untuk dijadikan tempat menampilkan koleksi-koleksi kerajaan.
Pada 1682, Louis XIV, si Raja Matahari, memilih Istana Versailles sebagai kediaman pribadi, meninggalkan Louvre untuk dijadikan tempat menampilkan koleksi-koleksi kerajaan.
Konon, ini adalah salah satu museum terbesar, museum seni yang paling banyak dikunjungi dan sebuah monumen bersejarah di dunia, memiliki hampir 35.000 benda dari zaman prasejarah hingga abad ke-19.
Kami memasuki museum itu dengan segala kerendahan hati. Pertama, kami harga tiketnya lumayan mahal 15 Euro (Rp 250 ribu) per orang. Ini harga tiket museum paling mahal yang pernah kami beli, sebab harga tiket Museum Nasional (Gajah) hanya Rp 5.000. Kedua, sebagai orang biasa yang bukan dianugerahi darah seni, juga sesekali ke pameran seni, kami bukan ingin mengharapkan wangsit inspirasi membuat karya seni, hanya ingin melihat secara langsung mahakarya Leonardi Da Vinci, yakni Monalisa.

Antusias pengunjung yang tak pernah surut mengunjungi Louvre, menjadikan lokasi ini tempat berkumpul turis mancanegara.
“Ini museum seperti mall, banyak orang berduyun-duyun dan semuanya ceria,” kata Ari, istri saya, membandingkan antusias pengunjung Louvre yang dinilainya hampir sama antusiasnya dengan gaya sebagian warga Jakarta yang tak lekang waktu mengunjungi mall.
Ada dua sayap utama lokasi pameran benda seni, yakni di Paviliun Richeliue dan Paviliun Denon. Kami memutuskan mencari si senyum misterius Monalisa sebagai prioritas, dengan bertanya kepada petugas, kami diarahkan ke Paviliun Denon tempat galeri-galeri lukisan.
Dari ruang masuk bawah tanah di kaki piramida kaca, kami mendaki puluhan anak tangga melewati ruangan Yunani antik. Mata tak lekas berpindah ketika menyaksikan puluhan patung zaman Yunani Klasik dijejerkan di selasar luas ini, semua benda seni ini terlihat halus walau terbuat dari marmer.

Selasar Yunani Klasik tempat pameran karya patung marmer yang halus dan bercitra rasa tinggi.
Entah bagaimana, batu keras mineral kalsit itu bisa “dibentuk” dengan indah menjadi berbagai patung dan karya seni kualitas tinggi. Patung-patung dengan ukuran besar seolah hidup, bentuknya proporsional, seolah mengalirkan darah ke penjuru otot-ototnya hingga menampakkan mimik manusia hidup.
Ukuran dan rumitnya patung-patung itu, sudah cukup membuat kami tercengang. Tangan rasanya tak sabar ingin menyentuh patung-patung marmer, merasakan cita rasa yang tiada duanyanya ini.

Sarkofogus (batu kubur) era yunani klasik, menampilkan pahatan yang halus dan rumit.
Ingin rasanya halusnya pahatan patung-patung seni itu mengalirkan magnet keindahan ke dalam aliran darah saya, menghangatkan rasa kemanusian tertinggi dan berbudaya. Mudah-mudahan tidak ada yang melihat ketika saya mengusap bagian per bagian patung-patung ini dengan perlahan, menyesap kerumitan ukirannya.
Mata kepala sendiri seakan tak percaya dengan apa yang saya lihat di depan mata, bagaimana orang-orang zaman old bisa menciptakan karya seni seindah dan serumit ini dapat bertahan hingga zaman now. Hanya seniman tingkat dewa yang mampu membuat patung-patung marmer itu.
Monalisa
Nadipati Yudha Tara, anak saya, tak percaya ketika saya beritahu bahwa kami sudah sampai di depan lukisan Monalisa.
Ia membalas WA saya. “ Kereeen pak, itu lukisan terkenal di dunia. Suatu waktu aku nyusul kesana,”

Lukisan Monalisa karya Leonardo Da Vinci di Museum Louvre, Paris.
Di galeri lukisan-lukisan Italia, Monalisa menjadi magnet pengunjung dari seluruh dunia. Beruntung kami datang di saat yang tidak terlalu ramai pengunjung, tak perlu antrian atau berdesak-desakan melihat lukisan ini dari jarak hanya 4 meter.
Lebih separuh dunia kami tempuh untuk menyaksikan langsung lukisan ini. Perjalanan sebulan dengan ribuan kilometer ini, terbayar lunas.
Terkurung oleh kaca antipeluru dan penjagaan ketat, tak mengedurkan kekaguman atas maha karya seni lukis yang dibuat zaman renaisans di Italia.
Nama atau judul lukisan Mona Lisa berasal dari biografi Giorgio Vasari tentang Leonardo da Vinci, yang terbit 31 tahun setelah ia meninggal dunia. Di dalam buku ini disebutkan bahwa model wanita dalam lukisan ini adalah Lisa Gherardini, istri dari Francesco del Giocondo seorang pedagang kain sutra yang kaya raya. Lukisan dirinya yang dipesan oleh suaminya kepada Leonardo da Vinci pada tahun1503 – 1517.

Tak banyak antrian turis yang hendak melihat langsung Monalisa, padahal biasanya antrian mengular dan berdesak-desakan.
Mona dalam bahasa Italia adalah singkatan untuk ma donna yang artinya adalah “nyonyaku”. Sehingga judul lukisan artinya adalah Nyonya Lisa. Dalam bahasa Italia biasanya judul lukisan ditulis sebagai Monna Lisa.
Tafsir ahli menyebutkan, Monalisa mewakili sosok wanita mulia pada abad ke-15 dan awal abad ke-16. Lisa digambarkan sebagai istri yang setia melalui posisi tangan kanannya yang bertumpu di atas tangan kirinya.
Pakaian hitam dan cadar hitamnya dipengaruhi oleh mode Spanyol yang berkelas; warna hitam ini bukanlah ungkapan rasa duka atas kepergian putri pertamanya, sebagaimana yang dikemukakan oleh para pakar sebelumnya.
Melalui karyanya, Leonardo juga melukiskan Lisa sebagai wanita modis dan mapan, yang mungkin lebih baik daripada sosok Lisa sebenarnya, padahal ia adalah seorang emak-emak dengan lima anak.

Jika saya saja yang tak dianugerahi darah seni bisa “menikmati” lukisan ini, tentu seorang seniman akan membuncah hatinya termehek-mehek berada di depannya.
Jika saya saja yang tak dianugerahi darah seni bisa “menikmati” lukisan ini, tentu seorang seniman akan membuncah hatinya termehek-mehek berada di depannya, berusaha menyerap nuansa batin karya seni dan kerumitan warna dengan pencahayaan agak-agak gelap namun menonjolkan senyum misterius si Lisa.
Senyuman Misterius
Misteri lukisan Mona Lisa berawal dari senyumnya, ketika melihat senyuman pada lukisan tersebut, terlihatlah senyuman kebahagiaan yang terpampang pada bibir tipis, bentuk bibir yang tipis dengan sedikit senyuman membuat lukisan tersebut bertambah cantik.
Berkat senyumnya, Monalisa tetap menjadi misterius banyak makna dan simbol tergantung mata batin yang merasakannya.
Kurator Museum Louvre sebenarnya tidak menyebut nama lukisan itu Monalisa, namun dengan sebutan La Joconde. Orang Italia menyebutnya La Gioconda, bentuk feminin dari Giocondo yang artinya “riang”. La gioconda artinya adalah “wanita riang”.

Berbagai karya pelukis Italia dipajang di ruangan Museum Louvre yang membuat mata terkagum-kagum.
Sebelumnya lukisan ini disebut dengan berbagai nama seperti “Wanita dari Firenze” atau “Seorang Wanita Bangsawan Dengan Kerudung Tipis”.
Nama Mona Lisa menjadi judul lukisan yang diterima secara luas semenjak abad ke-19.
CLBK
Di ruangan, setidaknya ada 30 lukisan lukisan-lukisan kelas wahid lainnya yang dipamerkan, namun kurang mendapat respon turis. Mereka kadang hanya selintas saja melirik lukisan lainnya, matanya keburu terpincut oleh lukisan Monalisa.

Lukisan gigantik karya Paolo Caliari de Veronese, Les Noces de Cana berukuran tinggi 6,77 m dan panjang 9.94
Berhadap-hadapan dengan Monalisa, terdapat lukisan gigantik karya Paolo Caliari de Veronese, Les Noces de Cana berukuran tinggi 6,77 m dan panjang 9.94 m. Saking besarnya, lukisan tentang pesta pernikahan bangsawan Venesia itu, diselesaikan selama setahun pada 1563.
Pada akhirnya, ketika sudah menujukkan hampir jam 17.00 sore, petugas dengan sopan mengusir para pengunjung yang tak menunjukkan niat mau beranjak dari galeri tersebut.
Kami berdua tak henti-hentinya mengagumi berbagai lukisan-lukisan seni yang dipajang, menyesap aura kenangan masa lalu ketika kami mulai berpacaran dan bergaya sok-sok an mengunjungi galeri seni dan berbagai museum di Jakarta.

Kami berdua tak henti-hentinya mengagumi berbagai lukisan-lukisan seni yang dipajang, menyesap aura kenangan masa lalu. Lukisan Pelantikan Napoleon 1807.
Sambil melangkah keluar, lirik lagu Monalisa yang dinyanyikan Nat King Cole seperti mengalun pelan.
Mona Lisa, Mona Lisa, men have named you
You’re so like the lady with the mystic smile
Is it only ‘cause you’re lonely they have blamed you?
For that Mona Lisa strangeness in your smile?
Kami saling berpandangan dan bergandengan tangan sambil saya kecup bibirnya, ternyata cinta lama bersemi kembali di Museum Louvre. (Hendrata Yudha, Paris)