Liputan Khusus Reklamasi
“Ada masalah penurunan permukaan tanah, penurunan muka air bawah tanah, terbatasnya lahan pembangunan, banjir dan buruknya genangan saat air pasang atau rob,” kata Direktur Jenderal Planologi dan Tata Ruang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) San Afri Awang
Jakarta, reportasenews.com – Kalau menyebut reklamasi pantai utara Jakarta, banyak orang pasti langsung paham.
Proyek yang dulu bernama Jakarta Coastal Development Strategy (JCDS) itu sebenarnya sudah dirumuskan sejak zaman pemerintahan Soeharto tahun1995. Perumusnya adalah Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, Kementerian Pekerjaan Umum (PU), dan Pemerintah Kota Rotterdam, partner city Jakarta.
Pemerintah ketika itu menilai, reklamasi ke utara Jakarta menjadi opsi yang masuk akal karena ada masalah penurunan permukaan air tanah yang parah di utara Jakarta.
“Ada masalah penurunan permukaan tanah, penurunan muka air bawah tanah, terbatasnya lahan pembangunan, banjir dan buruknya genangan saat air pasang atau rob,” kata Direktur Jenderal Planologi dan Tata Ruang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) San Afri Awang.
Penurunan permukaan tanah di Ibukota RI, misalnya, mencapai 7,5 centimeter (cm) per tahun. Ini penurunan permukaan kota terparah di dunia. Di beberapa daerah di Jakarta Utara bahkan mencapai 17,5 cm. Akibatnya, saat ini lebih dari separuh wilayah Jakarta Utara berada di bawah permukaan laut.
Bukan itu saja, kalau dibiarkan, pada 2050 posisi wilayah Jakarta Utara akan berada 5 meter di bawah permukaan laut. Dan, di 2070 posisi sebagian wilayah DKI akan berada 7 meter di bawah permukaan laut.
Yang lebih mengkhawatirkan, kalau tak ditanggulangi, pada 2025, 13 sungai dan kanal yang bermuara ke Teluk Jakarta berhenti mengalir dan malahan mengalami intrusi air laut, lantaran permukaan air laut sudah lebih tinggi dari permukaan sungai.
Tahun 2007, terjadi bencana banjir besar di Jakarta. Pemerintah pusat mengkaji opsi solusi untuk mengatasi dampak banjir dan rob intrusi air laut. Solusi pertama, mengosongkan Jakarta bagian utara karena permukaan air tanah yang terus turun. Opsi ini sulit dilakukan karena harus memindahkan 4 juta orang penduduk.
Selain itu, langkah ini akan mengakibatkan kerugian ekonomi sebesar US$ 200 miliar. Belum lagi, 1,5 juta orang akan kehilangan pekerjaan. Opsi ini akhirnya ditinggalkan.
Opsi kedua adalah membangun banyak tanggul di dalam kota. Konsepnya menerima dan menyalurkan air. Problemnya, dengan langkah ini, akan ada banyak tanggul tinggi di dalam kota. Belum lagi harus membangun tanggul yang kuat dan besar di tepi pantai serta membutuhkan waduk-waduk yang besar di dalam kota.
Opsi yang ketiga, membangun tanggul besar di lepas pantai. Konsepnya menjaga air laut sejauh mungkin dari daratan. Kelebihannya, air sungai tetap bisa mengalir ke laut. Ketinggian air di waduk dalam kota terjaga. Kemudian ada tambahan lahan baru untuk warga Jakarta. Problemnya, dibutuhkan perbaikan kualitas air di utara Jakarta.
Di tengah benteng itu, ada pulau buatan yang berbentuk burung garuda raksasa. Di belakangnya ada water reservoir atau waduk air baku sebagai penjernihan dan penampungan bagi air sungai yang datang. Adapun pulau buatan milik swasta akan terletak dekat garis pantai Jakarta.
Total lahan baru yang tercipta mencapai 5.110 hektare yang menjadi tempat tinggal dan kerja bagi sekitar 1,5 juta orang-2,5 juta orang. Proyek tersebut harus menarik partisipasi swasta karena biaya yang dibutuhkan mencapai Rp 500 triliun.
Proyek ini menanggulangi secara sekaligus empat masalah utama Jakarta: penurunan permukaan tanah, banjir akibat serangan rob atau air pasang dari laut, kemacetan lalu lintas, dan pencemaran sungai yang parah.
Pada 2015, Gubernur DKI Basuki T. Purnama akhirnya memberikan izin pelaksanaan reklamasi kepada beberapa pengembang pulau. Proyek pun berjalan. Tapi dengan kontroversi yang mengikuti. (Tim reportasenews.com)