Jakarta, reportasenews.com- Banyak negara disapu oleh fake news dan konten negatif seperti hoax di ranah media dan internet, Indonesia juga terkena imbas serius atas masalah ini. Semua negara besar juga berusaha menangkal tumbuhnya berita hoax ini di tengah masyarakat digital.
Karena itu perlu dipikirkan untuk mendorong sekuatnya ratusan konten positif agar bisa menangkal ekses konten hoax di internet. Biaya untuk memblokade konten negatif dan hoax bisa jadi sebanding dengan biaya membuat konten positif.
Demikian penjelasan Dirjen Aptika Kementerian Kominfo, Samuel Abrijani Pangerapan dalam bincang kemarin siang bersama reportasenews.com. Samuel mencetuskan beberapa gagasan dan cara beda agar bisa menekan riuh rendahnya konten hoax.
Mengambil contoh negara besar di luar negeri, bahwa mereka sudah menerapkan sistem denda bagi penyebar konten hoax. Masalahnya adalah di Indonesia, denda bagi pelanggaran di medsos belum menjadi budaya. Memberi denda bisa dipikirkan sebagai satu upaya alternatif lain selain memberikan ganjaran penjara.
Samuel juga menyebutkan beberapa platform media sosial seperti Facebook dan Twitter mempunyai mekanisme untuk akun yang sudah “diverified” dengan simbol centang hijau di sebelah namanya. Ini menjadi semacam “Digital ID” yang teruji.
Menurut Samuel ini adalah contoh bagus dimana setiap orang yang bermain di ranah medsos harus diverifikasi dengan ID yang jelas. Dimasa depan langkah facebook dan twitter ini bisa menjadi contoh dengan membuat sistem yang dapat membuat verifikasi user secara jelas.
Sistem verifikasi user ini menujukan bahwa dimasa depan medsos pun ingin memastikan secara serius bahwa setiap orang yang memakai medsos dapat mempertanggungjawabkan keabsahan dirinya maupun konten yang dia sebarkan. Cara ini juga menjamin adanya “jejak digital” yang jelas, visible, dari setiap orang di internet.
Menanggapi soal peran media raksasa ternyata juga menjadi penyebar hoax, Dirjen Kementerian Kominfo Aptika Samuel menyikapi ini dengan kritis menyorot perubahan komunitas digital modern di jaman ini. Ada fenomena baru yang sangat berbeda dengan penyebaran media dimasa lalu, menurut Samuel ini harus diantisipasi dengan cepat.
Masyarakat digital di jaman ini lebih instan, semuanya serba cepat dan bertubi-tubi. Di jaman ini berita yang muncul lebih pendek karena demand yang dibutuhkan memang meminta suguhan yang pendek serba cepat.
Karena itu, media harusnya juga mulai berusaha menyuguhkan konten yang sangat singkat tapi isinya tidak melenceng distorsif menjadi salah diterima pembacanya.
Beberapa media besar di dunia sekarang sudah menyuguhkan konten yang sangat singkat dan dapat disimak dalam hitungan satu menitan saja. Media juga harus melatih skill menyuguhkan konten pendek tapi bagus, berbeda dengan jaman dahulu yang dijelaskan sangat panjang.
Memang tidak mudah karena jika salah maka bisa dianggap hoax. Namun ini perlu dipikirkan karena komunitas digital jaman ini lebih suka mencari konten yang lebih pendek dan cepat saja (HSG/ Tim RN)