Rote Ndao, reportasenews.com – Wakil Ketua DPRD Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT), Paulus Henuk mendorong aparat penegak hukum menindak-lanjuti kasus 15 pegawai negeri sipil (PNS) di lingkup pemerintah daerah Kabupaten Rote Ndao yang diduga bekerja secara ilegal. Keberadaan 15 PNS itu dinilai merugikan negara hingga miliaran rupiah.
“Saat ini sedang dibahas oleh Pansus. Kita dorong agar ditindaklanjuti aparat hukum, karena kerugian negara mencapai miliar rupiah,” kata Paulus Henuk kepada wartawan, Selasa (21/7/2020).
Menurut dia, status 15 ASN tersebut telah dihapus pada data kepegawaian negara. Status 15 PNS yang menduduki jabatan starategis itu dihapus, karena terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi. “Sesuai UU ASN, 15 orang ini harus dipecat,” tegas Paulus.
Ironisnya, kata Paulus, 15 PNS tersebut masih menjalani pekerjaan dan masih menerima gaji layaknya PNS lain.
Dia mengatakan, pengaktifan kembali PNS Tipikor itu ditemukan oleh pansus LKPJ DPRD Rote Ndao. Dalam penelusuran Pansus, ditemukan dugaan adanya kerugian negara.
Dia menjelaskan, pada tahun 2018 terdapat tiga SK yang diterima, yakni SK dari Kepala BKN, Menpan RB, dan Kementerian Dalam Negeri kepada seluruh Pemda mulai tingkat provinsi hingga kabupaten/kota tentang pemberhentian PNS yang terlibat korupsi.
Untuk keseluruhan Indonesia, tercatat sebanyak kurang lebih 9 ribu orang. Meski demikian, hingga tahun 2019, Pemkab Rote Ndao melakukan pembangkangan dan tidak melaksanakan SK tersebut.
Menurut Paulus, ada 16 PNS Tipikor yang mestinya diberhentikan dengan tidak hormat sejak 31 Mei 2019. Namun, pada 24 April 2019, Bupati Rote Ndao menerima pengajuan keberatan secara administratif kepada pemerintah, sehingga dari 15 PNS dicabut SK pemberhentiannya, sementara satu PNS diberhentikan secara permanen.
Dengan pencabutan SK pemberhentian, 15 orang tersebut pun kembali diaktifkan status PNS-nya. Saat pengajuan gaji, diketahui dua dari 15 PNS tersebut namanya sudah tidak tercatat di sistem kepegawaian. Sementara yang bersangkutan masih diberikan jabatan struktural.
“Tentunya ada tanda tangan secara administratif saat mereka menjabat. Bagaimana mungkin seorang PNS yang sudah tidak diakui, masih menjabat dan digaji? Dasar hukum apa yang dipakai,” tanya politisi Partai Perindo itu.
Dia mengatakan Pansus LKPJ Kabupaten Rote Ndao juga sudah mendapat penjelasan bahwa pemberhentian dan penghapusan nama 15 PNS tersebut sejak akhir Desember 2019.
“Artinya, dari 1 Januari 2020 sampai hari ini sudah 6 bulan lebih orang itu bekerja iilegal, karena satus PNS sudah tidak ada,” ujarnya.
Meski demikian, kata dia, selama bekerja 15 PNS tersebut tetap mendapat gaji dan diberi tunjangan. “Pemberian jabatan dan gaji dari bulan Januari sampai Juni. Kerjanya ilegal, lalu dasar pembayaran gaji oleh Pemda itu apa?” katanya.
Dia menjelaskan, setelah disoroti Pansus DPRD, 15 PNS itu tiba-tiba kembali diberhentikan. “Saat ini mereka kembali diberhentikan, sementara Pemda selama ini membayar gaji mereka,” imbuhnya.
Paulung mengungkapkan, ada perintah dalam peraturan pemerintah bahwa bagi PNS yang sudah berkekuatan hukum tetap putusannya, mestinya diberhentikan. Namun, jika masih diaktifkan, maka ada dugaan kuat terjadinya kerugian keuangan negara.
“Ini bisa kita katakan sudah ada kerugian negara. Mereka ada gaji pokok ada tunjangan, ada uang perjalanan dinas, apalagi yang masuk dalam anggaran pemerintah itu, dia ada honor pengelola cukup besar, sehingga negara mengalami kerugian miliaran rupiah,” tegasnya.
Dugaan kerugian negara ini disebabkan akibat adanya SK dari pimpinan atau pemberi SK. “Pemberi SK yang harus bertanggung jawab. Kalau soal hukum nanti kita serahkan ke penegak hukum. Yang mengeluarkan adalah Bupati Rote Ndao. Dia yang tanda tangan, karena secara kewenangan ada di Bupati,” tuturnya.
Sementara Ketua Komisi A DPRD Rote Ndao, Veki Bulan yang juga anggota Pansus, membenarkan adanya temuan Pansus atas dugaan kerugian negara tersebut. Dia mengaku tidak paham mekanisme dan dasar hukum yang digunakan oleh Pemkab Rote Ndao hingga melawan undang-undang sebagai dasar hukum tertinggi dan melawan perintah pemerintah pusat.
“Ini kejadian pembengkangan hanya terjadi di Kabupaten Rote Ndao. Ini sangat aneh dan nyata,” ujarnya.
Terhadap temuan tersebut, mantan jurnalis tersebut mengaku akan berkoordinasi dengan kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya untuk segera ditindak-lanjuti.
Menanggapi kasus tersebut, Bupati Rote Ndao Paulina Haning B mengaku enggan menanggapi orang-orang yang tidak bertanggungjawab. “Itu dia punya tanggapan, saya tidak ada urusan, no coment,” katanya saat dikonfirmasi wartawan, Senin (20/7/2020), seperti diberitakan kumparan.com. (Tjg/Sir)