Oleh : Alvi Apriayandi
Jakarta, reportasenews.com – Banda, nama yang tidak asing lagi bagi orang-orang seperti kami walaupun memang belum memiliki kesempatan berkunjung kesana. Saat meihat diaplikasi ternyata tidak semua bioskop XXI di Jakarta dan sekitarnya menayangkan film dokumenter Banda. 7 tempat saja seingat saya yang memutarkan fllm tersebut, lumayanlah… Karena pada saat promo dibeberapa media sosial terdengar juga gaungnya.
Sangat asing ketika sebuah film dokumenter masuk lagi di bioskop Indonesia, mencoba browsing dan mengingat-ingat dokumenter apa saja yang pernah lolos dibioskop indonesia. Jauh ditahun 2002 ada “Student Movement” karya Tino Saroengallo. Hilang lagi dokumenter sepanjang itu dipersilatan bioskop nasional.
Dokumenter apresiasinya hanya berkibar pada festival-festival seperti FFD di Yogyakarta, bahkan pada ajang penghargaan tertinggi di Indonesia saja (FFI) apresiasi peraih film dokumenter terbaik dibacakan saat siaran televisi dijeda komersial break. 15 tahun berlalu, dokumenter karya Andi Bachtiar Yusuf yang berjudul “The Jak” (2007) dan berturut-turut karyanya lagi “The Conductors” (2008) mewarnai lagi bioskop kita. “Pertaruhan” dokumenter karya Nia Dinata juga tayang ditahun yang sama (2008). Kemudian pada tahun 2014 sempat mencuri perhatian lewat karya dokumenter Daniel Ziv yang berjudul “Jalanan”.
Hiruk pikuk PILPRES 2014 juga menjadi menghadirkan dokumenter karya Dandi Laksono yang berjudul “Yang Ketujuh”. Bisa dihitung dengan jari bukan dokumenter Indonesia yang sukses tayang dibioskop Nasional? secara industri bioskopnya juga hanya pemain tunggal.
Tahun ini (2017) dengan kehadiran “Banda” karya Jay Subiyakto patut diapresiasi bisa kembali mewarnai Bioskop Nasional, terlepas pro-kontra dari konteks sejarah dalam film tersebut. Kursi-kursi didalam bioskop pada tayangan perdananya memang tidak terlalu terisi penuh, bahkan ditengah-tengah pemutarannya beberapa pasangan penonton meninggalkan ruangan saat film berlangsung dan bukan hanya itu malah ada yang tertidur saat film berlangsung (seperti kawan disebelah saya haha…).
Mungkin dokumenter masih terlalu segmented bagi peminatnya, padahal saya meyakini kemasan “Banda” lewat editing yang dinamis serta musik scoringnya yang kekinian dikemas sedemikian rupa untuk merangkul pasar anak-anak muda agar tertarik. Memang tidak bisa dipaksakan untuk meratakan selera semua penontonnya, walaupun cara bertutur naskahnya pun sangat renyah dan menjual gambar-gambar keindahan tentang pulau Banda itu sendiri.
Bagi saya dokumenter ini harus diapresiasi dan semoga bertahan sedikit lama di Bioskop, karena ini harapan bagi pembuat dokumenter di Indonesia agar dapat menjadi peluang bisnis yang cerah dikemudian hari.
Beberapa tahun terakhir, televisi-televisi Nasional juga lambat laun menanggalkan program-program yang bergenre dokumenter. Alasannya tidak lebih dari sebuah bisnis juga, karena program-program dokumenter televisi pun dianggap sepi peminat dan pengiklan. Tertinggal hanya acara jalan-jalannya yang menjual tidak lebih dari kebahagiaan host dan timnya hahaha…
Dimana lagi kita dapat menikmati dokumenter? apakah harus meninggalkan status sebagai dari negara berkembang menjadi negara maju dulu hingga masyarakatnya mampu menikmati karya-karya dokumenter? Semoga dokumenter bukan hanya kemasan film festival-festival internasional saja bagi pembuatnya dan apalagi hanya pemuas Youtube.