JAKARTA, REPORTASE – Wacana TNI menjadi garda depan memimpin operasi  anti terror, tamapknya semakin menguat.
Wakil Ketua Pansus RUU Anti Terorisme Mayjen TNI (Purn) Supiadin Aries Saputra mengatakan, keterlibatan militer bertujuan memanfaatkan kapabilitas dan kekuatan TNI dalam pemberantasan terorisme.
“Ini bukan soal yang paling tanggungjawab, yang penting terorisme bisa dicegah dan ditindak cepat,†kata jenderal purnawirawan asal Partai Nasdem, di Jakarta.
Dijelaskan, walau militer nantinya aktif dalam ranah penegakan hokum, namun pendekatan yang dilakukan bukan pendekatan perang yang represif. Namun lebih pendekatan penegakan hokum yang akuntabel.
Sebelumnya, Ketua Pansus RUU Anti Terorisme Muhammad Syafii mengakui hampir semua fraksi tidak lagi mempersoalkan pelibatan aktif TNI dalam operasi anti terorisme, bukan lagi sebagai tenaga bawah kendali operasi (BKO) Polri.
“Semua (fraksi) sepakat dituangkan dalam daftar inventaris masalah per fraksi, yang akan dimatangkan dalam masa sidang berikutnya,†jelas Syafii kepada pers di Jakarta, Jumat (21/10).
Wacana peran aktif TNI ini, juga bertabrakan dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI yang hanya mengamanatkan perannya sebagai tenaga BKO pada Polri, itu juga dalam situasi tertentu. Bukan bersifat otomatis.
Upaya membawa TNI mengambilalih tindakan penegakan hukum ke gelanggang pendekatan perang itu, tidak terlepas dari komposisi anggota Komisi 1 DPR di DPR yang didominasi mantan jenderal. Terutama dari PDIP, Mayjen TNI (Purn) TB Hasanudin, Mayjen TNI (purn) Salim Mengga (Partai Demokrat), Mayjen TNI (Purn) Supiadin (Nasdem), Mayjen TNI (purn) Asril Hamzah (Gerindra).
Pengamat militer Al Araf menilai, upaya pansus membawa TNI ke medan operasi penertiban hukum itu, cenderung salah kaprah.
“Sangat keliru jika militer diatur dalam RUU Anti Terorisme, karena bertentangan dengan UU TNI,†tukasnya. (tat)