Jakarta, reportasenews.com – Sejarah kemunculan Hibut Tahrir Indonesia (HTI) di Nusantara terkait dengan Hizbut Tahrir di Palestina yang didirikan oleh Taqiyuddin an-Nabhani pada 1953. Kehadiran HTI tidak bisa dilepaskan begitu saja dari Hizbut Tahrir di Palestina yang didirikan oleh Taqiyuddin an-Nabhani pada 1953.
Hizbut Tahrir yang bermula di Yordania, kemudian meluas ke seantero Timur Tengah hingga negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Sejak awal perkembangannya, Hizbut Tahrir kerap berbenturan dengan kebijakan negara-negara yang dimasukinya. Itu sering berujung pada pelarangan organisasi ini dan para aktivisnya dipenjara. Namun, Hizbut Tahrir selalu menegaskan dirinya sebagai antikekerasan (la madiyah).
Rusia, Kirgiztan, dan Uzbekistan, adalah beberapa negara yang sudah menetapkan Hizbut Tahrir sebagai organisasi terlarang. Menurut Kurniawan Abdullah (2004), Indonesia dan Inggris Raya adalah negara yang bagi Hizbut Tahrir cukup aman dari tekanan penguasa.
Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia pada 1983. Maksudnya Hizbut Tahrir terkait peran seorang WN Australia keturunan Arab, Abdurrahman al-Baghdadi.
Pada 1980-an, KH Abdullah bin Nuh, pendiri pondok pesantren Al-Ghazali Bogor, mengajak al-Baghdadi untuk tinggal di Indonesia. Sejak saat itu, safari dakwah berlangsung untuk memperkenalkan Hizbut Tahrir ke pelbagai pesantren dan kampus. Awalnya, jumlah aktivis hanya 17 orang.
Pergerakan ini meluas ke masjid kampus IPB, Al-Ghifari. Halaqah-halaqah kemudian terbentuk untuk mendalami gagasan Hizbut Tahrir. Ketika Orde Baru berkuasa, aktivitas Hizbut Tahrir menjadi gerakan ‘bawah tanah’.
Menjelang medio 1990-an, pengaruh Hizbut Tahrir sudah masuk ke lingkungan kelas menengah sehingga tumbuh di 150 kota se-Indonesia. Gerakan ini juga menerbitkan materi-materi, semisal buletin Al-Islam dan majalah bulanan Al-Wa’ie (Agustus 2000).
Era Reformasi membuka kran kebebasan berpendapat. Pada 2000, HTI membuat acara fenomenal yakni Konferensi Internasional Khilafah Islamiyah di Senayan, Jakarta. Tidak kurang dari 5.000 peserta memadati lokasi acara tersebut.
Dalam sidang tahunan MPR-RI 2002, HTI menyampaikan tuntutan penerapan syariat Islam. Pada 29 Februari 2004, HTI mengerahkan massa berjumlah 20.000 orang dari Monas hingga sekitar Bundaran HI, Jakarta. Mereka menyuarakan dukungan bagi penegakan syariat Islam dan sistem Khilafah di Indonesia.
Hizbut Tahrir bertujuan mengubah sistem politik negara yang dimasukinya dengan sistem Khilafah al-Islamiyah. Dalam laman resminya, HTI menegaskan bentuknya sebagai sebuah organisasi politik.
“Ide-ide Islam menjadi jiwa, inti, dan sekaligus rahasia kelangsungan kelompoknya,” demikian petikan keterangan resmi HTI di laman tersebut.
Kehadirannya sebagai gerakan politik memang mengusung panji penegakan sistem khilafah al-Islamiyah. Ide ini memunculkan konsekuensi bahwa gerakan Hizbut Tahrir—yang awalnya merupakan partai politik di Palestina—menyebar dan punya sifat lintas negara.
Secara garis besar, tujuan Hizbut Tahrir adalah menghidupkan konsep politik yang diklaim merupakan kewajiban dalam kitab suci, sunah, dan telah diwujudkan dalam sejarah kekuasaan Islam sejak era Nabi Muhammad sampai kejatuhan imperium Utsmani (Abad ke-18 Masehi).
Menurut pendirinya Taqiyuddin an-Nabhani dalam tulisannya di kitab Daulah Islam dan kitab Mafahim Hizbut Tahrir yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh HTI Press sejak 2004 dan 2007, generasi umat Islam saat ini tidak tertarik dengan konsep khilafah karena tidak pernah menyaksikan atau punya pengalaman dengan pemerintahan Islam.
Karena gambaran tersebut tidak ada, pada akhirnya Muslim memilih menggunakan falsafah hidup lain yang membuat kemurnian Islam menjadi terkikis. Bagi Taqiyuddin, ini adalah kemunduran besar kaum muslimin. Taqiyuddin mengistilahkannya dengan ghazwu ats-tsaqafi (invasi budaya) yang menyebabkan kaum muslimin enggan menerapkan hukum-hukum Islam pada sistem pemerintahan mereka.
Ide Daulah Islamiyah (Negara Islam) di Indonesia memang sempat muncul saat Kartosuwiryo melakukan pemberontakan DI/TII di masa pasca-kemerdekaan. Belakangan dalam bentuk yang berbeda, ia juga muncul dalam bingkai gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Hanya saja keduanya masih menerapkan atau mengakui batas-batas negara dengan mengganti sistem maupun dasar pemerintahan saja.
Sedangkan Hizbut Tahrir secara umum mengupayakan adanya kesatuan tunggal bagi seluruh umat Islam di dunia. Cita-cita yang menerabas batas-batas geografis, kebudayaan, dan politik bangsa-bangsa.
Konstitusi Hizbut Tahrir secara sederhana menggunakan kata “Khilafah” dan “Negara” secara bergantian. Bangsa dalam konsep “negara-bangsa” bagi gerakan ini adalah “Islam” yang wilayahnya dinamakan sebagai dar al-Islam (wilayah Islam) sedangkan di luar itu dinamakan dar al-kufr (wilayah kafir). Di dalam dar al-Islam diterapkan hukum Islam, dan di luarnya masuk kategori hukum orang kafir.
Dibandingkan dengan ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama dan Muhamadiyah, usia Hizbut Tahrir Indonesia memang masih sangat muda. Masuk pada 1983 oleh Abdurrahman al-Baghdadi, seorang mubalig sekaligus aktivis Hizbut Tahrir yang berbasis di Australia. Abdurrahman memulainya dengan mengajarkan pemahamannya ke beberapa kampus di Indonesia hingga menjadi salah satu gerakan yang punya anggota cukup banyak saat ini. (Jurnal Model Dakwah Hizbut Tahrir Indonesia, oleh Sudarno Shobron).
Belakangan ini keberadaan HTI dianggap ancaman karena akan mengubah ideologi Pancasila. Salah satu ormas yang menyuarakan pembubaran tersebut adalah GP Ansor, ormas kepemudaan di bawah naungan Nahdlatul Ulama.
Hari ini, secara resmi pemerintah mengambil sikap tegas terhadap keberadaan HTI tersebut. Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto mengumumkan bahwa pemerintah akan membubarkan organisasi tersebut untuk mengarahkannya agar sesuai dengan koridor Undang-Undang Ormas yang berlaku di Tanah Air.
“Siang ini kami memfinalisasi satu proses yang cukup panjang mempelajari ormas di Indonesia yang jumlahnya ribuan bahkan ratusan ribu. Untuk mengarahkan mereka dalam koridor yang telah ditetapkan dalam UU keormasan baik dalam masalah tujuan ciri dan asas. Semuanya harus menuju satu titik yakni berdasarkan ideologi negara, Pancasila,” kata Wiranto. (tim reportase)