Liputan Khusus Reklamasi
Jakarta, reportasenews.com – “AMDAL yang komprehensif sangat dibutuhkan dan melibatkan 3 provinsi Jawa Barat, Banten dan Jakarta karena tanah yang dipakai uruk juga dari Banten,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.
Kalau dilihat dari peta, pantai utara Jakarta sebetulnya bentuk teluk. Secara geografis, di sebelah barat teluk Jakarta berbatasan dengan Tanjung Pasir, sebelah timur berbatasan dengan Tanjung Karawang, dan di sebelah utara berbatasan dengan bagian luar Kepulauan Seribu. Tempat ini menjadi muara bagi sungai besar yaitu Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane serta 13 sungai yang berhulu di Bogor.
Teluk Jakarta adalah sebuah kawasan perairan yang kaya dengan hasil lautnya berupa hewan laut seperti ikan, kerang, kepiting, dan udang. Perairan Teluk Jakarta menjadi salah satu pemasok ikan dan hewan lainnya di Jakarta. Wilayah Teluk Jakarta juga menjadi tempat yang penting bagi masyarakat di pesisir Utara Jakarta yang mata pencahariannya adalah nelayan.
Perkampungan nelayan sudah berdiri lama dan kehidupan mereka bergantung pada laut di Teluk Jakarta. Teluk Jakarta juga menjadi habitat bagi burung laut. Bahkan, Teluk Jakarta pernah diusulkan untuk menjadi cagar alam karena menjadi habitat bagi burung laut.
Berlarut-larutnya polemik proyek Reklamasi Teluk Jakarta ini mendapat kritik dari Alan Koropitan, Pakar Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB). Menurutnya, proyek reklamasi tidak menjawab persoalan kerusakan lingkungan yang terjadi di Teluk Jakarta.
Menurutnya, akar persoalan lingkungan Jakarta adalah pembangunan pesat yang terjadi sejak tahun 1970-an di Jakarta sebagai Ibu Kota Negara. Pesatnya pertumbuhan pemukiman, kawasan industri dan perkantoran memberikan dampak yang serius bagi ekosistem Teluk Jakarta.
Kerusakan yang terjadi antara lain berupa penambahan lapisan sedimen, pencemaran logam berat, dan pencemaran bahan organik. Kesemuanya membuat ekosistem Teluk Jakarta mengalami kerusakan. Apabila reklamasi 17 pulau itu dipaksakan berlangsung, maka dampak kerusakannya akan semakin parah dari yang sebelumnya sudah parah.
Alan memaparkan, waktu cuci air laut di Teluk Jakarta akan semakin lama jika reklamasi 17 pulau tetap dilanjutkan. Sebab kecepatan arus gelombang laut akan semakin menurun dengan semakin banyaknya pulau buatan. Padahal waktu cuci air laut yang ada saat ini saja tidak cukup karena Teluk Jakarta sudah sejak lama mengalami pencemaran dari 3 jenis limbah.
Selain itu, Jakarta juga mengalami pendangkalan dasar Teluk Jakarta akibat pencemaran lapisan sedimen yang terus terjadi. Kenyataan ini diperparah dengan penurunan permukaan tanah akibat penyedotan air tanah dalam jumlah besar.
Rata-rata penurunan permukaan tanah di Jakarta mencapai 3-7 cm setiap tahun. Namun di Pluit dan Muara Angke, penurunan permukaan tanah bisa mencapai 25- 26 cm setiap tahun.
Kondisi ini sangat berbahaya bagi Jakarta. Teluk Jakarta terancam menjadi “septic tank raksasaâ€. Aliran air dari 13 sungai di Jakarta akan terhambat. Penurunan permukaan tanah yang tajam ditambah aliran sungai yang terhambat membuat Jakarta akan sangat rentan terserang banjir besar. Belum lagi ancaman rob atau pasang dari permukaan air laut akibat gravitasi bulan.
Oleh sebab itu, reklamasi sejatinya bukan jawaban. Seharusnya pemerintah merehabilitasi aliran sungai di Jakarta sehingga menjadi bersih dan bisa kembali dikonsumsi oleh masyarakat. Dengan begitu, menurut Alan, pemerintah bisa menyetop aktivitas penyedotan air tanah baik oleh warga maupun perkantoran sehingga penurunan permukaan tanah Jakarta berhenti, bukan dengan ngotot melanjutkan reklamasi.
Mahasiswa program Doktoral dari University of Twente Hero Marhaento punya pendapat serupa. Ia menilai, salah satu ironi proyek reklamasi teluk Jakarta adalah karena dibantu oleh perusahaan dan konsultan asal Belanda.
Di Belanda sendiri, jelas kandidat doktoral di bidang Water Engineering ini, pendekatan hard infrastructure seperti reklamasi pulau dan pembuatan tanggul besar semacam itu sudah lama ditinggalkan.
Hero mengungkapkan, saat ini pertahanan pesisir di Belanda dilakukan dengan cara “sand nourishment†yaitu pembuatan jebakan-jebakan pasir di wilayah yang rawan abrasi, bukan dengan membuat tanggul raksasa di tengah laut.
Selain itu, upaya mitigasi banjir di Belanda justru dilakukan dengan merobohkan tanggul-tangggul sungai yang sudah ada dan menggantinya dengan konsep “Room for the River“. Dua metode tersebut terbukti jauh lebih murah, lebih efektif dan ramah lingkungan dibandingkan dengan upaya hard-infrastructure seperti reklamasi pulau dan pembuatan tanggul raksasa.
Ini karena proyek reklamasi pulau ini dilaksanakan maka hutan bakau di sekitar perairan Teluk Jakarta akan terdegradasi dan hilang. Padahal hutan bakau merupakan pertahanan pesisir alami yang dapat mencegah terjadinya abrasi.
Selain itu dalam laporan yang ditulis oleh Dinas Kelautan DKI Jakarta tahun 2013, diakui bahwa Teluk Jakarta memiliki produktivitas dan keanekaragaman hayati yang tinggi. Menurutnya, tidak benar jika dikatakan Teluk Jakarta semula tidak ada ikannya. ( Tim reportasenews.com)