Oleh: Kombes Pol Dr Chrysnanda DL
JAKARTA, RN.COM – Jalan tol sebagai jalan bebas hambatan (high way) diperuntukkan bagi kendaraan dengan kecepatan tinggi (sesuai dengan batas minimun dan maksimun).
Sepanjang jalan tol dilarang untuk menurunkan atau menaikkn penumpang, karena akan membahayakan keselamatan bagi dirinya maupun orang lain. Namun faktanya tol msh saja dijadikan halte-halte bayangan pada ruas-ruas tertentu.
Lokasi pinggir tol yang menjadi area industri, perkampungan. Para pegawai pabrik dan orang-orang dari kawasan industri memilih jalan pintas yang membahayakan dirinya maupun pengendara kendaraan di jalan tol.
Bus-bus yang terus saja melanggar aturan sudah ditilang, disita SIM, STNK, buku uji, kartu kontrolnya dan sebagainya. Sampai dokumen bus tersebut sudah habis namun mereka tetap saja melanggar dan dengan berbagai alasan sebagai pemaaf dan pembenar.
Menyeberang di jalan tol sangat berbahaya apalagi mereka bergerombol. Penindakan secara parsial memang bagai pengobatan pada luar-luarnya saja belum menyentuh akarnya. Para pengelola industri dan para pemilik bus masih juga belum disentuh atau ikut memikirkan keselamatan bagi penumpangnya maupun pengguna jalan lainya.
Pengenaan beban tanggung jawab masih sebatas kepada pengemudi. Penerapan vicarious liability (pengalihan beban tanggung jawab pidana) kepada pengelolan atau kelompok manajemen memang perlu dipikirkan atau menjadi bahan pertimbangan untuk pencegahan dan membangun budaya tertib.
Permasalahan pelanggaran lalu lintas merupakan akar timbulnya berbagai masalah yang lebih kompleks (kemacetan maupun kecelakaan lalu lintas). Masalah-masalah sosial lainya pun bisa terjadi.
Pengenaan hukuman bagi pengelola dan corporate sudahkah saatnya diterapkan ? (Redaksi)