Bogor, Reportasenews – Saat matahari memancarkan sinarnya, Arta, Momon, dan Ari berkutat dengan biji kedelai yang diolah menjadi tahu.
Aktivitas pembuatan tahu ini mereka lakukan tanpa henti dari pukul lima pagi hingga jam empat sore. Rata-rata setiap hari mereka menghabiskan 130 kilogram biji kedelai.

di pabrik tahu milik Ridwan fahmi, di Desa Cinangka Wates, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. (Foto. Tatang AR)
“Kami baru berhenti kalau kedelai habis,” tutur Arta sembari tangannya cekatan memotong-motong tahu dan menyusunnya ke dalam rak, lalu merendam potongan-potongan kecil itu ke dalam cairan kunyit.
Di pabrik tahu milik Ridwan fahmi, di Desa Cinangka Wates, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, kegiatan usaha masih terus berjalan di tengah kelangkaan kedelai.
Di saat kedelai mulai sulit dan harganya melonjak tajam, Ridwan Fahmi menyiasatinya dengan menaikkan harga jual tahunya.
“Cukup tinggi juga naiknya, sekitar 20 persen,” tutur Ridwan.
Pilihan pahit itu diambil karena Ridwan tak ingin pabriknya berhenti berproduksi. Soal dikomplain dan diomelin pelanggan, itu sudah risiko.

Aktivitas pembuatan tahu
di pabrik tahu milik Ridwan fahmi, di Desa Cinangka Wates, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. (Foto. Tatang AR)
Selama ini kedelai di pasar memang barang impor. Sebenarnya bila ada kedelai lokal, ketergantungan pada impor dapat dikurangi dan itu akan menekan laju harganya di pasaran.
Kedelai lokal adalah dambaan Ridwan Fahmi sejak dulu. “Kami pernah membeli kedelai lokal di petani saat ada program dari dinas untuk percobaan menanam kedelai,” kata Ridwan.
Menurutnya kualitas tahu yang memakai kedelai lokal cukup bagus.
“Mungkin karena masih segar ya,” tambah Ridwan.
Tapi sayangnya program yang bagus itu tidak berlanjut karena merugi. Saat panen harga kedelai lokal itu ditawar para pengepul dengan harga sangat rendah, sehingga para petani tidak tertarik untuk melanjutkan menanam lagi. (Tatan AR)