Kupang, Reportasenews.com – Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, bersama Universitas Nusa Cendana serta Polri bekerja sama dengan semua stakeholder, berkomitmen untuk memerangi tindak pidana perdagangan orang (TPPO), serta kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Nusa Tenggara Timur yang sudah pada tahap sebagai daerah yang rawan terhadap TPPO dan kekerasan menjadi salah satu daerah penyumbang TPPO yang cukup besar di Indonesia.
Komitmen tersebut ditandai dengan kegiatan Rise and Speak, Berani Bicara, Selamatkan Sesama, yang merupakan gerakan kolektif untuk mencegah tindak pidana perdagangan orang serta kekerasan terhadap perempuan dan anak, yang dilaksanakan di Aula Lantai III gedung Rektorat Universitas Nusa Cendana, Selasa (20/5).
Kegiatan ini menghadirkan beragam narasumber, dari Direktorat Tindak Pidana PPA dan PPO Bareskrim Polri, Polda NTT, Pemerintah Provinsi NTT, yang diwakili oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dinas Sosial, BP3MI NTT, dan Rektor Universitas Nusa Cendana.
Wakil Direktur Tipid PPA dan PPO Bareskrim Polri, Kombes Pol. Enggar P, mengatakan, fakta adanya kekerasan yang terjadi saat ini, tidak mengenal ruang dan batas usia.
Ini terbukti dari maraknya tindak kekerasan di lingkungan kampus, tempat ibadah bahkan di ruang privat yang seharusnya menjadi tempat yang aman.
Disampaikan Enggar, ada pelaku yang menggunakan kedudukannya, baik sebagai dosen, tokoh agama, tokoh pendidikan dan hingga teman sebaya, dengan topeng otoritas moral, juga semakin banyak pemuda-pemudi yang terjebak dalam tindak perdagangan orang.
“Berawal dari iming-iming kerja ringan dengan gaji besar tetapi berujung pada eksploitasi di luar negeri bahkan di dalam negeri secara terselubung,” jelas Enggar yang membacakan sambutan tertulis Direktur Tipid PPA dan PPO, Brigjen Nurul Azizah.
“Mahasiswa-mahasiswi pun menjadi sasaran, bahkan ada yang tidak sadar terjerat dalam skema perdagangan orang atau eksploitasi seksual digital, inilah mengapa Polri melalui Direktorat PPA dan PPK Bareskrim berkomitmen untuk membangun gerakan, yang tidak hanya melibatkan penegak hukum, tetapi juga membangun kesadaran pendidikan dan perlindungan yang inklusif dan empati,” imbuhnya.
Rise and Speak, kata dia, bukan sekadar slogan, namun menjadi pesan moral dan sosial bahwa berani bicara adalah bentuk tertinggi dari keberanian di era yang kerap membukam korban. Selamatkan sesama adalah bentuk solidaritas yang nyata, karena satu suara bisa menyelamatkan banyak jiwa.
“Menuju perubahan adalah komitmen korektif, karena keadilan tidak hadir dengan sendirinya, ia harus diperjuangkan. Saya ingin sampaikan kepada semua mahasiswa, dan seluruh civitas akademik, jika kalian mengalami kekerasan atau melihat teman kalian menjadi korban, jangan diam saja, suara kalian penting, keberanian kalian untuk menyelamatkan,” jelasnya.
Polri membuka kanal-kanal pelaporan yang mudah diakses, lebih manusiawi dan berpihak pada korban. Polri memperkuat sinergi dengan UPTD PPA, lembaga kampus, tokoh agama dan media, dan stakeholder lainnya, agar proses hukum, pemulihan dan pendampingan yang berkelanjutan dapat dilaksanakan.
“Kampus harus menjadi ruang aman bagi semua warga akademik, yang bebas dari intimidasi kekerasan dan diskriminasi, dan itu hanya mungkin terwujud jika dosen dan mahasiswa bekerja sama untuk tidak mentoleransi kekerasan dalam bentuk apa pun,” ucapnya.
Dia berharap komitmen semua pihak, di wilayah NTT khususnya di Kota Kupang, untuk melaksanakan deklarasi bersama anti kekerasan sebagai wujud komitmen korektif dalam mewujudkan pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan perguruan tinggi.
Enggar menyebur, komitmen ini menjadi langkah strategis dalam membangun ekosistem yang saling menjaga dan memperkuat solidaritas civitas akademika.
“Mari kita jadikan keberanian untuk berbicara sebagai budaya kampus, perlindungan sebagai prinsip dasar dalam dunia pendidikan dan kehadiran sebagai tanggung jawab kita bersama. Bersama kita bangkit, dan bersuara karena perubahan besar dimulai dari keberanian sederhana namun bermakna,” ungkapnya.
Dia mengajak semua elemen kampus, mahasiswa, dosen dan pimpinan lembaga, untuk tidak sekadar hadir dalam acara ini, tetapi menjadi bagian dalam gerakan perubahan, jadikan kampus sebagai benteng terakhir tempat tumbuhnya keberanian.
“Semoga langkah kecil yang dimulai menjadi pijakan menjadikan Indonesia yang aman, adil dan lebih manusiawi bagi perempuan, anak dan kelompok rentan lainnya,” ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTT, Silvy Peku Djawang, mengatakan, bahwa jika dilihat dari latar belakang dari persoalan NTT yang sangat kompleks, dikaitkan dengan persoalan TPPO ini, tentu masih sangat relevan dan butuh kerja keras dari semua pihak, juga termasuk mahasiswa-mahasiswi.
Dia mengatakan, persoalan TPPO mencakup banyak hal, mulai dari kompetensi anak-anak muda untuk bekerja, kemiskinan, dan persoalan-persoalan lainnya, yang sebenarnya ada pada ranah hulu sebenarnya.
Dia menyatakan kebijakan yang diambil oleh Gubernur NTT, dalam gerakan ayo bangun NTT, untuk meningkatkan derajat dan kompetensi pendidikan dan pekerja. Peluang kerja ada kaitannya dengan kompetensi kerja agar masyarakat bisa terhindar dari korban TPPO.
“Meningkatkan pendidikan dan kompetensi dalam hal vokasional, banyak sekali lembaga vokasi yang dimiliki pemerintah, tetapi vokasional ini sangat banyak yang masih ada di urusan industri kreatif, kejuruan yang jauh dari harapan, sehingga dibutuhkan kerja sama semua pihak, untuk memanfaatkan berbagai lembaga vokasi ini, untuk memberikan pelatihan dan keterampilan, sehingga dalam mencetak sumber daya manusia yang mampu masuk dalam dunia kerja,” ungkapnya.
Disampaikannya, bahwa jika melihat kasus TPPO di NTT, terdapat 54 orang yang pulang dengan keadaan sudah menjadi jenazah. Namun yang meninggal ini tidak serta merta karena TPPO, tapi ada juga yang meninggal karena faktor usia. (eba)