Krakow, Polandia, reportasenews.com-Sejak memutuskan menyusuri negara-negara Eropah dengan mobil, kami memutuskan sikap ada easy going aja. Di kota mana kami akan menginap atau kota mana yang akan singgahi, gak jadi masalah utama. Kami lebih mementingkan makanan apa yang kami bawa selama perjalanan. Maklum aja perut melayu, tidak semua makanan Eropah bisa ditelan.
Ketika berkunjung ke Eindhoven, Belanda, sempat tidak membawa bekal makan siang yakni nasi dan lauknya. Kami berharap nanti akan dijamu tuan rumah dengan makanan berat yang sesuai lidah melayu. Namun ketika sampai di sana dan ditawari makan siang, yang tersaji ternyata roti dan keju, ikan haring mentah dan ham.
Hahahaha…kami hanya bisa tertawa dalam hati melihat makanan khas Belanda ini.
Saya melihat orang Belanda ini nikmat sekali menyantap makanan roti kering dan keju asin, juga ikan mentah haringv ini, sementara kami setengah keselek dengan tenggorokan seret seperti kekurangan cairan. Di tengah sajian itu, seperti layaknya tamu yang sopan, kami tetap menyungging senyum ketika mengunyah makanan. Tuan rumah yang ramah itu menganggap kami menyukai makanannya, tak berselang lama ia langsung menyajikan lagi dua lapis brood en kaas sementara kami sudah keselek beneran.

Daun-daun berwarna kuning berguguran di awal musim dingin di Norway. Siapa yang tak tertarik untuk piknik gelar tiker dan makan siang di atas rerumputan ini.
Berdasarkan peristiwa itu, kami berkesimpulan urusan lidah dan “kampung tengah” tak boleh diabaikan di benua yang lagi memasuki musim dingin dengan suhu membuat perut cepat keroncongan.
Bagawanti Esti Suyoto menanak nasi sekitar tiga liter, Ari menyiapkan makanan paling enak di dunia yakni rendang. Tak lupa kami membawa sambal, kecap, buah-buahan juga lalapan. Memang sepertinya aneh banget keliling negara Eropah kok merepotkan membawa rantang dan aneka makanan Indonesia selama perjalanan.
Saya jadi teringat tulisan H.O.K Tanzil, petualang dari Indonesia yang telah mengelilingi Eropa dengan mobil VW Combi-nya pada tahun 1980-an. Dalam perjalanannya itu, Tanzil selalu membawa masakan Indonesia untuk mengobati kangen tanah air.
Lauk Tahan Banting
Inspirasi perjalanan Tanzil itu, menjadi referensi kami ketika memutuskan mengikuti perjalanan jauh. Ini perjalanan pertama saya ke Eropah. Bertahun-tahun menyantap makanan kampung, tak semudah membalikkan selera lidah ke gaya bule yang serba instant.
Namun ini bukan soal gengsi, akan tetapi ya ini soal selera di samping perhitungan biaya juga.
“Makanan di restoran Eropah mahal, menu paling sederhana paling tidak sekali makan satu orang di atas seratus ribuan,” kata Bagawanti alias Bugi, warga Cinere, Depok yang sudah lebih dari 25 tahun tinggal di Trondheim, Norway.
Dengan bekal awal uang rupiah, kami harus pandai-pandai mengatur pengeluaran di negara yang dikenal standar cost of living-nya termasuk tinggi di Eropah.
Sejak di Jakarta pun, kami menyiapkan lauk “tahan banting” rendang, kering tempe, dan teri sambal balado. Termos air panas, teh Tong Tjie yang wangi, kopi Lampung hitam dan gula putih tak lupa disertakan.
Wilayah yang kami jelajahi dari Norway, ke arah selatan menuju Swedia, terus menyambung ke Denmark, Jerman, Ceko, Slowakia kemudian Polandia. Jaraknya perjalanan itu, berdasarkan google map mencapai 2000 km atau setara Jakarta-Denpasar (Bali) pp. Its a long-long road..

Suasana rumah di Polandia, sederhana seperti rumah di kampung-kampung di Indonesia, di Polandia kami disajikan makanan yang enak.

Menu makanan khas Polandia, pierogi (dimsum), fillet ikan goreng, kentang, sayur daun kare. Rasanya enak dan hampir diterima lidah melayu.
Dariusz Stanislaw, suami Bugi, yang asli Polandia juga sudah wanti-wanti, dalam perjalanan “mudik” ke kampung halamannya tak akan banyak berhenti di kota-kota besar. Ia mau tancap gas ke Tylmanova, Polandia Selatan, bukan ingin berwisata di kota-kota besar Eropah.

Ketemu sanak saudara se tanah air Agus Hasan dan Wynda Astutik, disajikan makanan bebek goreng dan kangkung yang enak, di Odense, Denmark.
Tak banyak pilihan kata atas rencana perjalanan Dariuzs, kami yang menumpang kendaraannya ya hanya seperti makmun yang mengikuti imam. Syukur juga dibawa gratis naik keliling Eropah, suatu kesempatan langka yang sulit didapatkan.
Dengan berbesar hati, kami tetap semangat setuju rencana perjalanan jauh itu.
Antusias yang membuncah di dada kami, kelak kami baru sadari, akan memakan waktu selama tiga hari dua malam itu!
Makan Dalam Mobil
Berbagai makanan dan alat makan yang kami bawa, tidak bisa berfungsi maksimal. Pemandangan indah desa-desa di Norway, dengan hamparan ladang hijau luas di kiri-kanan jalan serta ternak yang merumput menampilkan gambar seperti lukisan. Enak dipandang mata dan menakjubkan. Ditambah lagi tumpukan salju tipis yang menghampar di sela-sela pepohonan, menambah elok alam wilayah Skandinavia ini.
Dengan pemandangan seindah itu, kami punya ide menggelar tiker dan makan nasi dengan sambal di atas salju, layaknya kebiasaan pulang mudik Lebaran ke Purwokerto, Jawa Tengah. Akan tetapi gaya mudik lebaran ini langsung dibatalkan, sebab suhu di bawah nol yang dingin itu membuat kami menggigil gak karuan.
“Dasar orang udik,” kata Bugi sambil tertawa, melihat tingkah konyol kami ini. Dariusz yang lahir dan besar di negara es batu ini juga tersenyum, mungkin ia berpikir sama dengan Bugi.
Hanya ketika di Odense, Denmark, ketika kami bertamu ke rumah Agus Hasan dan Wynda Astutik dan disajikan makanan Indonesia yang menggoyang lidah.

Sejak di Jakarta pun, kami menyiapkan lauk “tahan banting” rendang, kering tempe, dan teri sambal balado.
Alhasil, sepanjang perjalanan itu makan siang dan makan malam selalu di dalam mobil. Menunya ya nasi rendang, sambal terasi dan lalapan, kenikmatan lidah melayu yang tak bisa diceritakan kepada orang bule. (Hendrata Yudha, Krakow, Polandia)