Liputan Khusus Reklamasi Bagian 3
Serang, reportasenews.com – Reklamasi teluk Jakarta merupakan lahan bisnis yang sangat menggiurkan. Besarnya modal yang dibutuhkan serta keuntungan yang dihasilkan akan berlipat-lipat, membuat bisnis pengurukan laut ini hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu.
Wajar saja bila bisnis reklamasi pengurukan 17 pulau di bagian utara pantai Jakarta yang akan dijadikan kawasan pemukiman paling elit itu menjadi bisnis yang paling menggiurkan.
Sebagai contoh, harga lahan permeter persegi di beberapa pulau reklamasi yang berlokasi di sekitar perairan Ancol saja, dijual dengan harga Rp 30 juta.
Para pengusaha penambang pasir laut, serta warga asing pemilik kapal penyedot pasirpun ikut kecipratan uang reklamasi yang nominalnya tidak sedikit.
Menurut ahli tehnik pantai, Dr. Widjo Kongko, setidaknya ratusan juta kubik pasir dibutuhkan untuk menguruk lahan reklamasi di Teluk Jakarta.
“Dengan estimasi luas dari 17 pulau reklamasi sekira 50 kilometer persegi diperkirakan 350 juta kubik pasir dibutuhkan untuk menguruk lahan tersebut, ini belum termasuk pasir untuk menguruk benteng laut†ujar Widjo Kongko yang juga ahli rekayasa dinamika pantai BPPT ini.
Artinya, dari 17 pulau reklamasi  seluas 5.176 ha, dengan rata-rata kedalaman laut yang diuruk 7.5 meter. Maka dibutuhkan pasir 5.176 x 10.000 m2 x 7.5 = 388.200.000 meter kubik.
Lantas dari mana saja pasir laut reklamasi Teluk Jakarta seluas 5.176 hektar itu didatangkan? Yang paling masuk akal, ya dari pantai-pantai di sekitar Teluk Jakarta. Paling dekat ya dari perairan Provinsi Banten, benarkah?
Saat dikonfirmasi, Gubernur Banten Rano Karno membenarkan jika pasir tersebut berasal dari wilayahnya. Bahkan kata Rano, pasir tersebut sudah dikumpulkan sejak tahun 2000 silam.
“Oh pasir itu kan sudah dari tahun 2000an,” ujar Rano kepada reportasenews.com
Salah seorang pengusaha penambang pasir laut untuk proyek reklamasi Teluk Jakarta, Tomy (bukan nama sebenarnya) mengakui, meskipun harga jual pasir laut nilainya relatif murah, yakni Rp 13.500 permeter kubik, namun mengingat besarnya volume pasir yang dibutuhkan, tentu saja akan mendatangkan keuntungan yang besar pula.
“Harga jualnya sih kecil, tapi volumenya kan banyak,” ujar Tomy saat ditemui langsung di kantornya di bilangan Serang, Banten, belum lama ini.
Bahkan, lanjut Tomy, kehadiran para broker dalam rantai penjualan pasir laut kepada konsorsium reklamasi 17 pulau di pantai utara Jakarta, membuat harga pasir laut di tingkat penambang semakin rendah.
“Sangat sulit untuk menyeragamkan harga karena para broker juga saling banting harga. Malah ada yang menjual tujuh ribu rupiah permeter kubiknya,” ucapnya.
Di Kabupaten Serang saja, sedikitnya ada 15 perusahaan pemilik konsesi. Ironisnya, tidak satupun di antara mereka yang tau berapa harga jual pasir laut ke pihak konsorsium reklamasi.
“Kami kan menjualnya ke pihak broker dan broker ini jual lagi ke pengembang. Kami gak pernah tau mereka jualnya berapa ke pengembang,” tutur Tomy.
Tomy menjelaskan, sesuai izin eksplorasi yang ia kantongi, ia mendapat izin konsesi seluas 1600 hektar di kawasan Pulau Tunda. Sedangkan 14 pemilik konsesi lainnya yang ada di Serang, rata-rata memiliki wilayah konsesi 1000 hektar. Untuk mendapatkan izin konsesi penambangan pasir laut tersebut, Tomy harus merogoh dalam koceknya.
“Untuk urus izin, biaya penelitian eksplorasi dan biaya lain-lainnya saya sudah keluarkan uang dua milyar,” cetusnya.
Namun, biaya sebesar 2 milyar rupiah tersebut, belum termasuk uang “keamanan” dan uang japrem alias jatah preman.
“Kita sudah kasih untuk aparat keamanan trus kasih untuk preman juga,” kata Tomy. (RN)