Myanmar, reportasenews.com – Eksodus pengungsi baru-baru ini dipicu oleh serangkaian serangan terkoordinasi malam hari oleh militan ARSA pada 25 Agustus. Demikian alasan yang dipakai oleh Rezim Suu Kyi kepada dunia internasional.
Arakan Rohingya Salvation Army (Arsa) bergerilya di negara bagian Rakhine di utara Myanmar, di mana kebanyakan orang Muslim Rohingya menghadapi penganiayaan.
Bentrokan meletus secara berkala antara kelompok etnis, ini memicu perlawanan balik etnis Rohingya bersenjata. Arsa, yang sebelumnya dikenal dengan nama lain termasuk Harakah al-Yaqin, telah membunuh lebih dari 20 petugas polisi dan anggota pasukan keamanan.
Pada tanggal 25 Agustus, mereka menyerang pos polisi di negara bagian Rakhine, menewaskan 12 orang dalam serangan terbesarnya sejauh ini. Pada gilirannya, ini mendorong sebuah perlawanan keras dari pasukan militer rezim Suu Kyi.
Mereka mengatakan bahwa penyergapan tersebut menyerang lebih dari 30 tempat, merupakan kegagalan taktis, militan tampaknya menderita korban berat dan tidak mendapatkan sejumlah besar senjata.
Rezim mengatakan bahwa jajaran ARSA telah membesar, dibantu oleh respon brutal militer Myanmar.
Kelompok tersebut “telah menunjukkan peningkatan kapasitas yang signifikan untuk mengkoordinasikan operasi di wilayah yang luas dan sekarang dapat memobilisasi jumlah pejuang yang jauh lebih besar,” Anthony Davis, pakar keamanan regional di Jane’s IHS Markit, mengatakan kepada AFP.
“Semua penganiayaan Tatmadaw yang menumpuk pada penduduk sejak Oktober nampaknya bertujuan untuk menumpas pemberontakan rakyat.”
Pernyataan oleh otoritas Myanmar dalam dua minggu terakhir menggambarkan ARSA telah meningkat lebih dari 150 pejuang saat melakukan belasan pertempuran balasan kepada militer.
Mereka memiliki jumlah yang harus dianggap serius, namun faktanya mereka tidak memiliki senjata modern untuk mendukung perlawanan atas militer Myanmar.
Menurut pernyataan dan foto yang dikeluarkan oleh tentara Myanmar, militan menggunakan senjata primitif, termasuk senapan serbuk mesiu, senjata rakitan sendiri, serta tongkat dan pedang.
Sebaliknya, persenjataan tentara Myanmar adalah salah satu yang terbaik yang didanai di Asia. Sekitar 4,5 persen dari PDB dikhususkan untuk anggaran militer, ini artinya tiga kali lipat dari dana militer di Thailand yang dikelola militer.
Pejuang Arsa bertarung dengan kekuatan yang sangat tidak seimbang melawan kekuatan militer Myanmar dalams senjata dan jumlah pasukan.
Myanmar mengatakan telah membunuh sekitar 400 pejuang Rohingya dan kehilangan hanya 15 personil sejak 25 Agustus – meskipun tentara sering kali sengaja memanipulasi jumlah korbannya.
Pemerintah menyebut Arsa sebagai organisasi teroris dan mengatakan bahwa para pemimpinnya telah berlatih di luar negeri.
International Crisis Group (ICG) juga mengatakan bahwa militan telah dilatih di luar negeri dan mengeluarkan sebuah laporan pada tahun 2016 yang mengatakan bahwa kelompok tersebut dipimpin oleh orang-orang Rohingya yang tinggal di Arab Saudi. ICG mengatakan bahwa pemimpin Arsa adalah Ata Ullah, yang lahir di Pakistan dan dibesarkan di Arab Saudi.
Namun juru bicara kelompok tersebut membantah hal ini, mengatakan kepada surat kabar Asia Times bahwa mereka tidak memiliki hubungan dengan kelompok jihad dan hanya ada untuk memperjuangkan orang-orang Rohingya untuk diakui sebagai kelompok etnis.
Arsa sendiri adalah pejuang yang tidak memiliki senjata memadai. Pemerintah mengatakan serangan 25 Agustus dilakukan dengan pisau dan bom buatan sendiri.
Wawancara dengan pengungsi dan mantan pejuang di Bangladesh menunjukkan bahwa pertarungan yang tidak merata tersebut membawa dampaknya pada ARSA dengan peningkatan jumlah yang nyata pada pria usia muda di antara kedatangan pengungsi beberapa hari terakhir.
Ala Uddin diam-diam meninggalkan keluarganya di kota Rathedaung di Myanmar lima bulan lalu untuk bergabung dengan ARSA.
“Kami dilatih untuk bertarung dengan keberanian dihati kami,” katanya, menambahkan bahwa dia menerima instruksi bagaimana menanam bahan peledak dan senapan api.
Tapi dia segera menyadari bahwa serangan yang mereka lakukan adalah “serangan tanpa ampun” dengan “senjata kuno”, jadi dia lantas tidak ikut bergabung lagi.
Mohammed Akbar, seorang pengungsi berusia 18 tahun yang tiba di Bangladesh minggu ini, mengatakan bahwa teman-teman sekolah telah tewas dalam pertempuran bersama ARSA. “Mereka hampir tidak memiliki senjata yang layak, jadi saya memilih untuk melarikan diri,” katanya.
Rohingya telah banyak menghindari kekerasan sampai ARSA muncul. Sedikit yang diketahui tentang siapa yang menjalankan atau membiayai kelompok tersebut.
Dalam beberapa bulan terakhir mereka telah menggenjot kumculan di media sosial mereka, termasuk akun Twitter (@ARSA_Official) yang sering kali menjadi yang pertama menerbitkan pernyataan ARSA.
Sebaliknya, ARSA menggambarkan dirinya sebagai salah satu pemberontak etnik Myanmar yang melawan militer yang kejam.
Dalam sebuah pernyataan yang diterbitkan pada hari Rabu, ARSA menuduh militer “melakukan kejahatan keji” terhadap warga sipil Rohingya dan mengkritik penolakan Myanmar untuk memberikan visa kepada penyelidik PBB.
“Telah ada upaya untuk menjangkau masyarakat internasional yang lebih luas, upaya untuk menekankan fakta bahwa mereka bukan jihadis, tapi sebuah gerakan etno-nasionalis dengan suatu alasan,” kata Davis.
Dalam wawancara, Ata Ullah telah menolak label teroris tersebut dan mengatakan bahwa kelompoknya tidak menargetkan warga sipil. Namun Myanmar menuduh bahwa kelompok militan tersebut telah membunuh warga sipil Budha.
Analis juga menyalahkan mereka atas gelombang pembunuhan di desa-desa Rakhine terpencil dari kaki tangan antek negara yang dirasakan dalam beberapa bulan terakhir.
Zachary Abuza, seorang ahli kelompok militan Asia Tenggara, mengatakan bahwa ARSA telah menarik perhatian militan internasional. “Apakah kelompok ini secara aktif memberikan dukungan ini atau mereka menginginkannya, itu mungkin akan terjadi,” katanya. (Hsg)