Tak Ada yang Selamat
MALAM di ketinggian 1200 mdpl begitu cerah tapi kami harus melawan dingin yang membekap kami. Jaket pinjaman Theo Mandey yang saya bawa dari Jakarta tidak cukup kuat menahan dingin yang mulai menusuk tulang.
Saya buat penghangat seadanya dengan api unggun kecil. Hewan malam menyanyikan suara alam yang ritmis tapi mistis. Entah lagu apa yang mereka lantunkan. Mungkin nyanyian sedih seperti halnya kami yang yang sedang dilanda duka.
Sinyal telepon seluler diketinggian ini timbul tengelam. Syukurlah sempat ada sinyal dan nyambung dengan Bang Eha (Erwin Hadi/ produser). Kami mohon kiriman logistik dan pakaian hangat .
Namun hingga jauh malam kiriman buat kami tak kunjung datang. Diantara dingin dan lelah yang mendera, kami pejamkan mata meski tak bisa terlelap tentunya. Hampir subuh kiriman yang dibawa Dicki Kurniawan dan Reza baru tiba. Alhamdulillah, Senangnya kami bisa bertemu mereka.
Sambil terengah-engah Dicky bercerita bagaimana susahnya medan jalur Kampung Loji. Ia sempat kesal karena ditinggal kabur dua porter yang harusnya menemani mereka.
Darinya saya juga tahu bahwa selain saya dan Arif, ada Muhar yang juga mendaki tapi dari jalur lain, yakni Cipelang Pasir Pogor. Sambil terus memaki jalur yang menurutnya gila, ia rebahkan badan dan langsung pulas.
Terang tanah, istilah tentara menyebut pagi yang masih baru sekali. Kami berkemas untuk melanjutkan pendakian. Syukurlah Reza ikut bergabung dengan saya dan Arif Dayat.
Sementara Dicki harus kembali turun membantu tim liputan bersama kawan-kawan yang stand by di bawah. Terimakasih segede-gedenya buat Dicky dan Reza juga tentunya Bang Eha, KD, Cici, Sukma dan kawan kawan yang mengirimkan kami nasi bungkus, telur rebus, roti, cemilan dan minuman.
Selain mengirimkan penghapus lapar dan dahaga, mereka juga sebetulnya sudah mengirimkan semacam kesetiakawanan yang sulit untuk dilukiskan. Saya akan menyimpannya di hati sebagai sebuah kebaikan. Sekali lagi terimakasih teman.
Sedari pagi hingga matahari diatas ubun-ubun hanya ada tanjakan yang menyiksa di hadapan kami. Semakin keatas jalannya semakin berat. Hingga tibalah kami di pertigaan. Kami mengambil jalur curam ke bawah karena ada petunjuk berupa tulisan agar mengambil jalan itu.
Agaknya itu jalur baru dibuka menuju lembah dan sumber air. Kami coba susuri jalur itu. Namun semakin ke bawah semakin susah hingga kami bertemu rombongan dari punggung gunung di seberang lembah. “Balik mas balik !! ini jalur buntu !” teriak salah seorang dari mereka.
Seharian mereka menyusuri jalur itu hingga melewati dua punggungan gunung tapi hasilnya nihil.
Akhirnya setelah mengisi botol kosong dari mata air di dasar lembah terpaksa kami mendaki lagi ke jalur semula. Di pertigaan tadi kami berpisah dengan mereka. Kelompok yang terdiri dari pecinta alam dan seorang reporter itu memilih pulang karena semakin menipis persediaan makanan mereka.
Sementara saya, Arif dan Reza melanjutkan pendakian menuju Puncak Salak satu seperti petunjuk warga kampung yang sempat berpapasan dengan kami beberapa jam sebelumnya. Warga kampung mengatakan mereka sudah sampai di TKP mengantar relawan pertama.
Sang surya mulai tergelincir kearah barat. Hingga sore menjelang Puncak Salak Satu belum juga bisa kami capai. Yang ada adalah tanjakan terjal hingga dinding batu yang harus kami panjat. Tulang persendian serasa copot tapi kami harus terus melangkah meski terseok.
Vegetasi tanaman di ketinggian lebih dari 2.000 mdpl mulai terlihat pendek . Jejak jejak pendaki yang lebih dulu dari kami pun mulai terlihat. Kami semakin yakin karena dikejauhan mulai terdengar suara ramai meski timbul tengelam. Dengan sisa tenaga kami pun terus melangkah. Sekitar pukul 16.00 WIB, tibalah kami Puncak Salak Satu. Subhanallah Alhamdulillah Allahuakbar! kami berhasil menjejakkan kaki di Puncak Salak Satu! Sungguh surprise kami disambut sahabat kami, Muhar yang sudah lebih dahulu tiba. Kami pun berpelukan haru.
Dengan dada bergemuruh saya menanyakan bagimana Adit dan Ismi kepada Muhar. Ia menarik nafas sambil bertutur : “Bang, TKP di lembah gak jauh dari puncak ini, medannya parah banget. Kondisi Sukhoi hancur berkeping-keping. Sedari pagi baru ada tiga kantong mayat yang bisa diangkat ke Puncak Salak 1. Gue nggak tahu ada berapa korban di kantong itu karena kondisinya mengenaskan,” ujar Muhar.
Saya mengikuti bola mata Muhar yang menunjukkan di mana kantong mayat itu berada.” Innalillahi wainnailaihi rojiuunn..” balas saya sambil terkulai lemah.
Muhar belum bisa memastikan apakah diantara korban itu ada Adit dan Ismi. Kami pun berbagi cerita dan menyusun rencana. Muhar harus segera kembali ke Posko Trans TV di Cijeruk untuk melaporkan semua temuan dan hasil liputannya, sementara saya Arif dan Reza akan bertahan di Puncak Salak 1 dan akan ikut evakuasi lanjutan yang akan dilaksanakan besok paginya.
Puncak Salak 1 Sabtu, 11 Mei 2012
Matahari pagi baru saja merekah tapi kesibukan diketinggian 2.220 mdpl ini begitu terasa. Tim SAR mulai bersiap mengevakuasi kantong mayat dengan cara hois yaitu mengangkat kantong mayat dengan tali yang kemudian di tarik helicopter. Sekitar pukul 07.00 WIB helicopter super puma mulai mendekat ke lokasi. Sebelum mengangkut kantong-kantong mayat, mereka mengirimkan bantuan logistik berupa makanan minuman.
Evakuasi pertama dengan sistem hois belangsung aman dan lancar. Kantong-kantong mayat secara bergantian diangkat dan dibawa ke Posko SAR di Cijeruk untuk kemudian dilanjutkan dikirim ke Rumah Sakit Polri untuk identifikasi.
Sementara itu, saya bersama tim SAR mulai turun ke lembah untuk mengevakuasi korban. Baru saja mendongakkan wajah ke arah lembah yang ditunjuk oleh seorang relawan langsung terbayang bagaiman sulitnya medan.
Kemiringannya hampir 80 derajat. Tanpa alat khusus seperti tali sulit sekali mencapai lokasi. Saya dan Arif dengan susah payah merayap turun sambil berpegangan kuat dengan tali.
Hampir mendekati lokasi aroma kematian begitu kuat menyengat. Saya menguatkan diri untuk tidak emosional. Saya berdoa minta diberi kekuatan lahir dan batin. Sesampai di lokasi betul saja ini sungguh tragedi yang mengerikan. Sukhoi yang gagah perkasa itu pecah berkeping-keping. Hampir seluruh bagian badan dan kepala shukoi tidak berbentuk dan sukar dikenali lagi.
Darah saya berdesir, tubuh terasa membeku. Sambil berzikir saya kuatkan diri, Saya membatin, “Sungguh alangkah sulit bagi siapapun yang ada di lokasi saat itu memastikan ada yang selamat dari musibah.”
Jujur saya takut membayangkan bagaimana kondisi penumpang dan awak pesawat. Jika benda keras saja hancur berantakan bagaimana pula dengan raga manusia. Tapi saya dan Arif sudah di TKP, kami harus rasional dan kuat. Kami beranikan diri lebih dekat mengamati potongan-potongan tubuh manusia yang berserakan maupun yang sudah dikumpulkan di dalam kantong mayat .
Ajal bisa menjemput siapa dan kapan saja. Namun gugur dalam tugas adalah takdir terbaik yang tak bisa ditolak. Membesar-besarkan hati dengan doa kami berharap paling tidak bisa menemukan jenazah sahabat kami Adit dan Ismi dalam keadaan yang utuh. Utuh dan lengkap dengan seragam Trans TV. Seragam hitam hitam yang membuat anak Aditya Sukardi bangga hingga Adit pun masih bertahan di perusahaan ini.

Hingga ajal menjemput, Adit bertahan di Trans TV karena anaknya senang ayahnya memakai seragam Trans TV.(foto: facebook adit)
Lantai 3 TransTV Rabu sore 16 mei 2012,
Limbung dan luruh rasanya menyaksikan tubuhnya yang tinggi dan gagah itu tergolek dengan sebagian tubuhnya tertimbun tanah. Bibir dan lidah ini mendadak padam. Tak ada lagi kata, hanya ada derai air mata saat foto itu ditunjukkan kordinator liputan daerah Desi Ardiyana kepada saya.
Serta merta jadi teringat update status Facebook Aditya Sukardi 23 April 2012 pkl 06.52. WIB:
“.. Tiba- tiba kangen tanah dan rumput basah di hutan…”
Wahai jiwa yang tenang berangkatlah menuju Tuhanmu dengan damai.
Viandi (mantan Eksekutif Produser News Trans TV)