Oleh Rochmad Widodo
JAKARTA,REPORTASE – Islam bagai denyut jantung bagi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang senantiasa memompa kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari perjuangan para kyai, ulama, dan juga para santri. Bahkan Panglima Besar Jenderal Soedirman sebagai bapak TNI pun juga tak lain adalah seorang ulama, ustad, dan terlahir dari organisasi keislaman di bawah Muhammadiyah, Hizbul Wathan.
Sejarah mencatat dalam perang kemerdekaan menghadapi penjajah, baik Panglima Besar Jenderal Soedirman maupun Bung Tomo dan juga para pejuang lain, tak henti-henti memekikkan kalimat takbir untuk membakar semangat juang para prajurit.
Indonesia memang mayoritas berpenduduk agama Islam. Namun Indonesia bukanlah negara Islam. Itu adalah keputusan yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa ini melalui sebuah proses pertimbangan panjang dan mendalam dalam rapat perumusan dasar negara.
Permasalahan dasar negara Indonesia telah final tidak perlu digugat dan diperdebatkan. Mayoritas pemeluk agama Islam di Indonesia pun juga telah menyepakatinya. Pada 1 Juni 1945 saat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) melakukan rapat perumusan dasar negara yang terdiri dari; Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. Achmad Soebardjo, Mr. Muhammad Yamin, KH. Wachid Hasyim, Abdul Kahar Muzakir, dan juga Abikoesno Tjokrosoejoso, awalnya pada sila pertama dirangkai kalimat, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.â€
Menyadari bahwa penduduk Indonesia terdiri dari pemeluk berbagai agama, akhirnya Panitia Sembilan mengajukan Piagam Jakarta pada sidang kedua BPUPKI yang berlangsung tanggal 14-16 Juli 1945. Kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” lantas disepakati diubah menjadi “Yang Maha Esa”.
Upaya-upaya beberapa oknum yang menginginkan negara Indonesia menjalankan syariat Islam tidak dipungkiri memang sepanjang jalan kemerdekaan Indonesia hingga berusia ke-71 tahun ini selalu ada. Tapi hanya laiknya isapan jempol. NKRI telah begitu kokoh dalam sanubari seluruh rakyat Indonesia. Tak tergoyahkan meski digoncang dengan pedang, maupun fitnah dan adu domba.
Ahok, Aksi Bela Islam, dan Isu Keretakan
Sungguh cukup miris dengan berbagai isu miring yang terus berhembus setelah mencuatnya kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama atau yang sering disapa Ahok, pada saat pidato kunjungan kerja di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, 27 September 2016. Di tengah pro dan kontra antara pendukung dan penolak atas dugaan penistaan yang dilakukan oleh Ahok, tak sedikit para ulama, kyai, habaib, dan tokoh-tokoh dihujat dan dicaci maki dengan kata-kata sungguh tidak beradab. Kedua kubu saling serang dan bersitegang. Tensi suhu perselisihan terus kian memanas.
Berawal dari kronologi kejadian 6 Oktober 2016, Front Pembela Islam (FPI), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Selatan melaporkan Ahok kepada polisi, lantas disusul juga oleh sejumlah organisasi lain. Pada 10 Oktober 2016 Ahok meminta maaf kepada umat Islam terkait ucapannya soal surat Al Maidah ayat 51.
Permintaan maaf diterima, namun FPI, MUI, dan berbagai ormas Islam yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI tetap meminta agar hukum ditegakkan bagi penista agama laiknya kasus penista agama lainnya.
Pada 14 Oktober 2016, ribuan orang dari berbagai ormas Islam berunjuk rasa di depan Balai Kota Jakarta menuntut Ahok agar dihukum. Pada 24 Oktober 2016, Ahok mendatangi Bareskrim Mabes Polri memberikan klarifikasi terkait ucapannya. Namun hal itu tak turut menjadi pemungkas dari kasus yang membelitnya. Pada 4 November 2016, GNPF MUI kembali menggelar unjuk rasa dengan tagline Aksi Bela Islam II dengan jumlah yang jauh lebih besar kurang lebih 75.000 hingga 100.000 orang menuntut agar Ahok dipidanakan dan dipenjarakan.
Aksi damai berjalan dengan pemandangan indah persaudaraan antara pendemo dan anggota kepolisian yang mengamankan. Mereka saling membantu dalam berwudhu untuk melaksanakan shalat, berdzikir, dan bershalawat bersama. Jalanan pun juga bersih usai aksi karena ada yang bertugas membersihkan sampah. Meski di penghujung unjuk rasa ada oknum yang berusaha menjadi provokator kerusuhan.
Permasalahan Ahok pada akhirnya memang tidak bisa disederhanakan. Pasalnya, Ahok tengah menjadi salah satu calon Gubernur DKI Jakarta dan turut mengikuti kontestasi pilkada. Di lain sisi, tentu kecurigaan aksi GPNF MUI ada muatan politis dari sudut pandang pengusung Ahok tidak bisa disalahkan, meski itu tidak benar.
Kasus Ahok dan politik berkelindan tak terpisahkan. Ahok dan Djarot dalam berbagai survey sebagai sang petahana selalu berada di urutan teratas dibandingkan calon lain, baik Agus-Silvy maupun Anies-Sandi.
Yang menyedihkan adalah saat kasus Ahok mulai dikaitkan dengan etnisnya sebagai minoritas, dan juga ditarik ke arah konflik antar agama. Hingga isu itu lantas menjadi bola liar ke arah perpecahan. Ada yang menerka akan terulang kejadian ’98. Suhu politik nasional menegang. Terlebih saat Kapolri, Tito Karnavian dalam wawancara di media mengatakan ada oknum yang memanfaatkan keadaan untuk melakukan aksi makar.
Realisasi janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera memproses hukum Ahok terkait kasus penistaan agama dengan cepat usai Aksi Bela Islam II, 4 November 2016, patut diapresiasi. Hal itu cukup menurunkan tensi suhu ketegangan nasional. Langkah Presiden Jokowi melakukan silaturahmi ke kediaman Prabowo Subianto, dan dilanjutkan dengan mengundangnya makan ke Istana Negara, lalu secara marathon mengundang para petinggi partai, dan juga mengundang para ulama ke Istana Negara, bisa dinilai sebagai upaya yang tepat untuk mencairkan suasana.
Banyak pengamat politik yang menyebutnya gaya diplomasi khas nusantara. Setidaknya, itu bisa sedikit mengobati kekecewaan ratusan ribu pendemo 4 November 2016 yang tidak ditemuinya.
Memaknai Aksi Bela Islam III Super Damai
Pada hari Rabu 16 November 2016 Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Kepolisian Indonesia telah menetapkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai tersangka, disampaikan oleh Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Ari Dono Sukmanto dalam konferensi pers di Markas Besar Polri, Jakarta. Ahok dilarang meninggalkan wilayah Indonesia. Namun, Ahok tidak ditangkap karena diyakini tidak akan melarikan diri.
Yang menjadi tuntutan GPNF MUI adalah memproses hukum Ahok seadil-adilnya. Proses hukum memang sudah berjalan dan harus dihormati. Pihak manapun tidak boleh memaksakan kehendak dalam sebuah keputusan hukum, termasuk sekalipun itu presiden. Karena itulah, GPNF MUI mengajak kepada segenap umat Islam untuk turut mengawal proses hukum yang berjalan.
Disamping itu, GPNF MUI pun kembali merencanakan menggelar Aksi Bela Islam III yang akan diikuti dengan ibadah gelar sajadah di sepanjang jalan Sudirman-Thamrin, hingga bundaran HI untuk melakukan dzikir, doa, dan shalat Jum’at bersama. Diperkirakan jumlah peserta aksi akan jauh lebih besar. Tapi butuh proses panjang untuk bisa mendapatkan izin dari Polri, meski aksi tersebut konstisusional seluruh rakyat Indonesia memiliki hak untuk menyampaikan pendapat dan dilindungi oleh undang-undang.
Isu akan terjadi makar dalam Aksi Bela Islam III seakan menjadi momok yang menakutkan. Terlebih Presiden Jokowi melakukan kunjungan ke markas-markas militer dan kepolisian—tersirat pesan ada kekhawatiran besar dan permasalahan serius di tanah air. Hingga izin pun diberikan setelah pertemuan antara GPNF dan Polri di Kantor Pusat MUI, kedua belah pihak bersepakat, Aksi Bela Islam III dilaksanakan pada 2 Desember 2016 dengan catatan; menjadi aksi unjuk rasa yang super damai, berupa Aksi Ibadah-Gelar Sajadah tanpa mengubah tuntutan utama, yaitu; tegakkan hukum yang berkeadilan dan tahan penista agama. Selain itu juga bersepakat akan digelar dzikir dan doa untuk keselamatan negeri, serta tausiah umara dan ulama di lapangan Monas dan sekitarnya dari jam 8 hingga shalat Jum’at, yang melibatkan seluruh elemen umat dan masyarakat, terutama TNI-Polri. Serta usai shalat Jum’at para pimpinan GPNF MUI akan menyalami peserta aksi dan melepasnya untuk pulang ke daerah masing-masing. Ada pun jika ada gerakan di luar kesepatan tersebut, maka bukan aksi dari Bela Islam III, dan GPNF MUI tidak bertanggung jawab sama sekali.
Indonesia patut bersyukur dan bangga atas suksesnya Aksi Bela Islam III, 2 Desember 2016. Diperkirakan jumlah peserta aksi mencapai 4.000.000 orang (www.eramuslim.com). Bahkan ada juga yang menyebut mencapai hingga 7.000.000 peserta aksi, (www.tarbiyah.net).
Meski tidak diketahui pasti jumlah peserta aksi, namun bisa diyakini bahwa jumlah peserta Aksi Bela Islam III sangatlah fantastis, mungkin bisa menjadi sejarah pertama kalinya aksi unjuk rasa dengan massa terbanyak di tanah air, dan manariknya, berjalan dengan penuh kesejukan dan kedamaian seperti yang diharapkan akan menjadi aksi super damai.
Ada banyak pihak yang harus diapresiasi dan diberikan penghargaan setinggi-tingginya atas terselenggaranya Aksi Bela Islam III berjalan dengan sukses dan damai. Tentu saja pertama adalah kepada segenap peserta Aksi Bela Islam III, GPNF MUI, para umara dan ulama yang senantiasa tertib hingga acara selesai.
Begitu banyaknya massa yang menjadikan sepanjang Monas hingga bundaran HI menjadi lautan manusia sungguh tidaklah mudah untuk menjaga tetap tertib dan terkoordinir dengan baik. Namun semua berkomitmen untuk memenuhi kesepakatan yang telah dibuat dan menjadikan aksi bermartabat.
Kedua, adalah kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang senantiasa ikut salat jumat bersama di Monas dan menyambut dengan hangat kepada seluruh peserta aksi. Selain turut membuat peseta aksi merasa lega, langkah itu tentulah akan menjadi pelajaran berharga bagi generasi penerus bangsa dalam memahami hakikat berdemokrasi yang harus senantiasa terbuka untuk aspirasi.
Dan ketiga, kepada segenap anggota Polri dan TNI yang turut membantu bekolaborasi dengan para koordinator aksi mengatur permasalahan tekhnis pelaksanaan dan mengamankannya hingga usai tanpa dengan kekerasan.
Atas kejadian ini semua banyak pelajaran yang bisa dipetik bagi segenap masyarakat Indonesia. Pertama, adalah penting untuk menjadikan hukum sebagai panglima. Hukum harus ditegakkan seadil-adilnya. Namun jangan sampai diintervensi hingga hakikat keadilan itu sendiri menjadi tercerderai. Kedua, sesungguhnya kasus atas Ahok bukanlah terkait dengan etnisnya yang minoritas, agama yang dipeluknya, atau atas dasar politik seperti yang dituduhkan beberapa pihak karena pilkada DKI Jakarta.
Kasus penistaan agama murni yang menggerakkan seluruh umat Islam yang tergabung dalam GPNF MUI—dari berbagai penjuru Indonesia. Jadi jangan sampai NKRI terkoyak karena provokasi oknum yang berusaha memecah belah dan adu domba dengan mengaitkan kasus ini menjadi isu minoritas, pertentangan antar agama, atau permainan politik para sutradara pilkada.
Ketiga, Islam mayoritas di Indonesia adalah pengawal keutuhan NKRI. Seluruh lapisan masyarakat dalam organisasi Islam telah melebur dan menjadikan nafas kebangsaan keindonesiaan bagi kehidupan organisasi. Laksana denyut jantung yang menghidupkan jiwa dan ruh manusia. Jadi tak sepatutnya gerakan Islam senantiasa dicurigai sebagai ancaman bagi kedaulatan negara. Islam tercipta rahmatan lil alamin. Kalau pun ada aksi teror dari pemeluk agama Islam itu adalah oknum. Segenap pemeluk Islam pun mengecamnya.
Pungkas kata, semoga atas fenomena yang terjadi ini, turut menjadi pembelajaran besar bagi Indonesia, mengukuhkan NKRI, mematangkan toleransi antar umat beragama, menjadikan hukum lebih berkeadilan, dan bersama berkomitmen untuk kembali merajut simpul kebhinnekaan menjadi keindahaan dalam bingkai keindonesiaan.
~ Penulis adalah Wakil Sekjen Yayasan Barisan Patriot Bela Negara (YBPBN) yang aktif dalam berbagai kegiatan Bela Negara.