Ubud, reportasenews.com – Ubud Writers & Readers Festival 2017 (UWRF2017), pagi ini dibuka di Museum Neka, Campuhan Ubud, Bali.
UWRF2017 yang sudah digelindingkan sejak 14 tahun silam adalah hajatan tahunan para penulis kakap dunia dan bertemunya dengan para pembacanya.
Penguin Random House meletakan posisi UWRF2017 sebagai salah satu dari 20 festival sastra yang disegani dikalangan penulis kampiun, dan sekaligus terbesar di Asia Tenggara.
Sekitar 350 peserta asing dan lokal memadati venue yang berada diwilayah sejuk Ubud. Setelah pidato pembukaan, acara panggung diskusi langsung dilemparkan kepada NH. Dini ditemani oleh Leila S. Chudori.
Kedatangan NH. Dini dan Leila adalah untuk mendorong semangat menulis bagi anak muda jaman ini. NH. Dini berbagi pengalaman menceritakan proses penulisannya sejak masih SD hingga kini.
NH. Dini berangkat dari penulis otodidak, belajar sendiri dan mencoba menulis salah satunya untuk acara sandiwara di radio. Pendiri ‘Pondok Baca NH Dini’ di kampung Sekayu, Semarang, sudah melahirkan puluhan karya.
Dini dipersunting Yves Coffin, Konsul Prancis di Kobe, Jepang, pada 1960. Dari pernikahan itu ia dikaruniai dua anak, Marie-Claire Lintang (lahir pada 1961) dan Pierre Louis Padang (lahir pada 1967). Anak sulungnya kini menetap di Kanada, dan anak bungsunya menetap di Prancis.
Dia pernah meraih penghargaan SEA Write Award di bidang sastra dari Pemerintah Thailand, NH Dini sudah telanjur dicap sebagai sastrawan di Indonesia, padahal ia sendiri mengaku hanyalah seorang pengarang yang menuangkan realita kehidupan, pengalaman pribadi dan kepekaan terhadap lingkungan ke dalam setiap tulisannya. Ia digelari pengarang sastra feminis.
Karya tulis Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin yang dikenal dengan nama NH Dini, ini yang terkenal, di antaranya Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975) atau Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang Damai (1998), belum termasuk karya-karyanya dalam bentuk kumpulan cerpen, novelet, atau cerita kenangan.
Dia kerap disebut sebagai pengarang sastra feminis yang terus menyuarakan kemarahan kepada kaum laki-laki.
Terlepas dari apa pendapat orang lain, ia mengatakan bahwa ia akan marah bila mendapati ketidakadilan khususnya ketidakadilan gender yang sering kali merugikan kaum perempuan.
Dalam karyanya yang terbaru berjudul ‘Dari Parangakik ke Kamboja’ (2003), ia mengangkat kisah tentang bagaimana perilaku seorang suami terhadap isterinya.
Ia seorang pengarang yang menulis dengan telaten dan produktif, seperti komentar Putu Wijaya; ‘kebawelan yang panjang.’
Hingga kini, ia telah menulis lebih dari 20 buku. Kebanyakan di antara novel-novelnya itu bercerita tentang wanita. Namun banyak orang berpendapat, wanita yang dilukiskan Dini terasa “aneh”.
Ada pula yang berpendapat bahwa dia menceritakan dirinya sendiri. Itu penilaian sebagian orang dari karya-karyanya. Akan tetapi terlepas dari semua penilaian itu, karya NH Dini adalah karya yang dikagumi. Buku-bukunya banyak dibaca kalangan cendekiawan dan jadi bahan pembicaraan sebagai karya sastra.
NH Dini dilahirkan dari pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah. Ia anak bungsu dari lima bersaudara, ulang tahunnya dirayakan empat tahun sekali.
Menurut cerita, ia masih berdarah Bugis, sehingga jika keras kepalanya muncul, ibunya acap berujar, “Nah, darah Bugisnya muncul”. Baginya, sang ibu mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk watak dan pemahamannya akan lingkungan. (Hsg)