Mojokerto, reportasenews.com – Kebijakan Pemerintah menaikkan harga cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 8,9 persen di 2018 mendapat reaksi keras dari para pelaku industri tembakau di tanah air. Kenaikan CHT dianggap tidak rasional dan membebani industri rokok.
Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Indonesia(MPSI) Djoko Wahyudi menyatakan bahwa kebijakan cukai harus rasional dengan mempertimbangkan kelangsungan bisnis industri tembakau. Untuk itu, pada 2018 pelaku industri tembakau menolak keras kenaikan cukai tembakau sebesar 8,9 persen.
“Kami menolak kenaikan cukai yang eksesif sebesar 8,9 persen pada 2018,” katanya di sela acara ngaji bareng ribuan buruh linting rokok bersama Emha Ainun Najib di PT. Ittihade Rahmad Utama, Desa Jati Pasar KecamatanTrowulan, Kabupaten Mojokerto, Sabtu(9/9).
Menurut Djoko, kenaikan dan kebijakan cukai seharusnya bersifat jangka panjang dan mempertimbangkan kemampuan industri, sehingga kepastian usaha lebih terjamin dan pelaku industri tidak was-was setiap menjelang kenaikan cukai. Kenaikan harga cukai pun harus mengikuti inflasi.
“Besaran kenaikan cukai hendaknya disesuaikan dengan parameter ekonomi dan mengikuti inflasi,” paparnya.
Ia menegaskan pemerintah seharusnya jangan hanya bergantung pada cukai tembakau sebagai sumber penerimaan cukai, terutama ditengah lesunya kondisi industri tembakau saat ini.
Jika kenaikan cukai tetap diberlakukan akan berdampak pada industri tembakau, mengingat industri tembakau merupakan industri padat karya yang melibatkan jutaan orang dari hulu hingga hilir di samping juga sebagai sumber utama penerimaan cukai negara.
“Rantai industri tembakau panjang, bukan hanya pabrikan rokok saja. Saat industri mengalami penurunan, yang akan terkena dampaknya bukan cuma pabrikan, tapi juga pekerja di pabrik rokok, petani cengkeh, dan petani tembakau yang totalnya mencapai 6 juta orang,” tandasnya.
Joko mengungkapkan, terkait kenaikan cukai yang terus menerus dilakukan pemerintah, saat ini volume industri rokok terus mengalami penurunan.
Dalam empat tahun terakhir sejak 2015 produksi rokok turun 348 miliar batang dan pada 2016 turun lagi menjadi 342 miliar batang.
“Industri rokok jangan terus menerus dibebani dengan kenaikan cukai yang terlalu tinggi. Seperti yang terjadi di tahun 2016 penurunan rokok mencapai 15 persen. Saat ini beban pajak sudah mencapai 60 persen harga rokok (termasuk pajak rokok dan PPN Hasil Tembakau),” paparnya.
Kata Joko, terkait kondisi ini pemerintah juga perlu fokus dalam memberantas rokok ilegal. Dia berharap, Dana Bagi Basil Cukai Tahunan(DBHCT) bisa digunakan untuk dana memberantas rokok ilegal.
Dukungan pemerintah terhadap industri legal seharusnya bisa diwujudkan dengan lebih ekstensif dengan melakukan pemberantasan rokok ilegal, supaya kondisi industri lebih kondusif.
“Dana Bagi Hasil Cukai Tahunan dan pajak rokok seharusnya juga bisa dioptimalkan untuk membantu usaha pemberantasan rokok ilegal,” pungkasnya.(dif)