Amerika, reportasenews.com – Amerika Serikat telah memasukan nama Ismail Haniya, pemimpin politik senior Hamas, sebagai “teroris global”.
Departemen Luar Negeri AS mengeluarkan siaran pers yang mengatakan bahwa Haniya “memiliki hubungan dekat dengan sayap militer Hamas” dan “telah menjadi pendukung perjuangan bersenjata, termasuk melawan warga sipil”.
Penempatan Haniya pada “daftar teror” berarti bahwa akan ada larangan bepergian kepadanya, dan bahwa aset keuangan berbasis AS yang dia miliki akan dibekukan.
Juga akan ada larangan pada setiap warga negara AS atau perusahaan didalam negeri untuk berbisnis dengannya.
Hamas, adalah kelompok pejuang kemerdekaan Palestina yang mengatur Jalur Gaza yang diduduki Israel, didirikan pada tahun 1987 pada sebuah strategi perjuangan bersenjata melawan pendudukan, dan memiliki sayap militer yang dikenal dengan sebutan: Brigade Izz al-Din al-Qassam.
Haniya, 54, terpilih menjadi pemimpin politik kelompok tersebut pada Mei 2017, menggantikan Khaled Meshaal. Lahir di sebuah kamp pengungsi di Gaza, pemimpin tersebut telah lama dipandang bersikap pragmatis dan fleksibel dalam sikapnya terhadap Israel, dan mendukung sebuah negara Palestina di samping orang Israel.
Berbicara kepada Al Jazeera dari Jalur Gaza, pejabat senior Hamas, Ghazi Hamad mengatakan bahwa keputusan AS tersebut merupakan bagian dari kampanye yang lebih luas melawan orang-orang Palestina sejak Presiden Donald Trump mulai menjabat pada Januari 2017 – satu tahun yang lalu.
“Jelas bahwa permusuhan dari pemerintah AS terhadap orang-orang Palestina belum pernah terjadi sebelumnya – dengan dukungan tanpa syarat dari Israel dan keputusannya seputar Yerusalem, dan memotong pendanaannya ke badan pengungsi PBB UNRWA,” kata Hamad.
Dia menambahkan bahwa Haniya adalah “ikon perlawanan” dan itu adalah “sesuatu yang dia dan kita semua banggakan”.
Hamas belum mengeluarkan keputusan resmi atas keputusan AS tersebut, namun diperkirakan akan dilakukan Rabu nanti.
Trump telah membuat serangkaian keputusan dalam beberapa bulan terakhir yang telah meningkatkan ketegangan di wilayah ini.
Dalam sebuah pertarungan besar dengan kebijakan AS selama puluhan tahun, Trump mengumumkan pada 6 Desember bahwa AS secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, dan akan memulai proses pemindahan kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem. Langkah tersebut meletupkan demonstrasi besar di wilayah Palestina yang diduduki dan di kota-kota besar di seluruh dunia.
Dan, pada 17 Januari, pemerintah AS memutuskan untuk memotong lebih dari separuh dana yang direncanakannya ke badan bantuan PBB untuk pengungsi Palestina – sebuah institusi yang telah menjadi jalur penyelamat bagi lebih dari lima juta pengungsi Palestina yang terdaftar selama lebih dari 70 tahun. (Hsg)