JAKARTA, REPORTASE-Koordinator Setara Institut Hendardi menduga aksi demo 4 November lalu, digunakan oleh kaum radikal jihadis menjadi medan perekrutan  baru. Para aktor jihadis lokal ini, bukan tak mungkin masuk dalam kerumunan massa.
Menurut Setara Institute, para jihadis kehilangan arena recovery atau radikalisasi sejak terjadinya perdamaian di Poso dan Ambon. Mereka kehilangan kesempatan untuk merekrut kader-kader baru maupun untuk menghimpun dukungan publik.
Indikasi keterlibatan kelompok jihadis dalam aksi 4 November lalu juga terdeteksi lewat para tokoh kuncinya. Pertama, Bachtiar Nasir yang merupakan pendakwah Wahabi. Kemudian Abu Jibril sebagai aktivis Majelis Mujahidin Indonesia. Dan, M. Zaitun berasal dari organisasi Wahdah Islamiyah yang disponsori Wahabi dan gemar mengkafirkan kelompok lain.
“Tiga tokoh kunci tersebut secara ideologis membenarkan segala cara untuk mencapai tujuannya,” tegas Hendardi kepada pers di Jakarta, Selasa (8/11).
Sejak 2010 kelompok jihadis beralih menggunakan isu penodaan agama, penyesatan, anti kristenisasi, dan solidaritas atas segala peristiwa di Timur Tengah, sebagai medium kampanyenya. Peristiwa di Cikeusik 6 Februari 2011, dan di Temanggung 9 Februari 2011, adalah dua peristiwa yang secara nyata ditunggangi kelompok jihadis.
Dia beberkan, salah satu aktor lapangan peristiwa penyerangan jemaaat Ahmadiyah di Cikeusik adalah aktor yang aktif melakukan pembantaian di Poso. Sedangkan di Temanggung, operator lapangan dari pembakaran gereja adalah salah satu tokoh yang bertugas memasok amunisi untuk kelompok Islam pada masa konflik di Ambon.
Aksi-aksi massa selalu mengundang aneka kepentingan. Karena itu, jika praktik-praktik intoleransi dengan aksi kekerasan dan penyebaran kebencian dibiarkan, maka sama saja publik menyediakan arena “pemulihan” bagi kelompok-kelompok jihadis untuk terus memupuk semangat pengikut dan simpatisannya.
Bagi Setara Institute, intoleransi adalah titik awal dari terorisme. Sebaliknya, terorisme adalah puncak intoleransi,†ujar Hendardi.
Dengan demikian di mata Setara Institute, aksi 4 November bukan hanya terkait Pilkada Jakarta dan dugaan penodaan agama yang menjerat Gubernur DKI Jakarta (non aktif), Basuki Purnama alias Ahok.
Aksi 4 November juga ruang yang kondusif bagi radikalisasi publik, serta memperluas dukungan terhadap agenda-agenda jihad yang bertentangan dengan hukum dan dasar kebangsaan Indonesia. (tat/pr)