Oleh: Hidayat S Gautama
Reportasenews.com : Perang di Aleppo bukan cuma perang senjata dua kubu, tapi juga perang informasi. Kedua belah pihak saling mengeluarkan jurus-jurus informasi kepada publik dunia untuk membenarkan tindakan mereka. Dan kemudian, jika lawan mengeluarkan informasi tertentu, maka pihak lawan akan segera melakukan counter informasi agar bisa dipatahkan. Keduanya saling menjelekan satu sama lainnya, keduanya juga sama-sama mengklaim atas nama rakyat tak berdosa.
Bagi publik dunia yang letaknya berjauhan dengan Aleppo dan tidak paham kondisi disana, penduduk Indonesia termasuk disini, maka akan mudah memakan informasi yang ditebarkan melalui medsos. Sentimen pada kemanusiaan atau agama turut dimainkan oleh penyebar informasi di Aleppo agar mengundang simpati dan keberpihakan, baik itu dari kubu rezim Bashar Assad atau pihak lawan pemberontak . Kedua kubu butuh dukungan dunia.
Dalam semua perang diseluruh dunia, selalu ada kasus seperti ini. Hal ini bukan aneh mengingat  wilayah perang biasanya tertutup bagi orang luar untuk masuk, wartawan juga dilarang masuk, bantuan kemanusiaan juga dilarang. Karena tertutup ini maka sumber informasi yang beredar cuma dari ponsel penduduk lokal yang disebarkan dengan liar melalui medsos lalu dikutip reshared oleh semua netizen.
Diwilayah perang, kebenaran informasi nyaris NOLÂ besar jika wilayah itu tidak ada pihak ketiga yang menjadi penengah yakni lembaga asing dan wartawan, jika wilayah disana tertutup dan cuma dikuasai kubu bertikai maka dipastikan banyak informasi “suka-suka gue aja”. Jika yang mengeluarkan informasi kubu pemberontak, maka dia akan mengatakan rumah sakit dibom sama pasukan Bashar dengan harapan seluruh dunia mengutuk kekejaman Bashar karena membom rumah sakit.
Sebaliknya, jika informasi dikeluarkan dari kubu Pro Bashar, maka akan dikatakan yang menguntungkan mereka. Memang begitu alamiahnya bagaimana informasi diwilayah perang difabrikasi. Hadirnya pihak ketiga yang netral bisa memberikan kebenaran informasi dilapangan dengan cek-ricek yang benar.
Cara paling umum dilakukan diwilayah konflik adalah memutar balikan fakta. Contoh kasus ini adalah ketika Duta Besar Irak di PBB, Bashar Jaafari menunjukan foto betapa pasukan pro pemerintah sangat menghargai aspek kemanusiaan di Aleppo dan memperlakukan penduduk sipil dengan baik. Dia mengatakan itu dirapat besar Dewan Keamanan PBB.
Bashar Jaafari menujukan satu foto yang dikatakan dengan yakin bahwa seorang perempuan pengungsi ditolong oleh tentara pro Bashar menuruni mobil bak terbuka. Keterangan Dubes Irak di PBB ini sebagai upaya pemerintah dia menepis tekanan internasional atas tuduhan bahwa tentaranya berlaku kejam terhadap penduduk sipil disana.
Setelah ucapan Bashar Jaafari itu beredar keseluruh dunia, belakangan baru diketahui bahwa foto yang diangkat-angkat didepan majelis PBB itu adalah foto tipuan. Foto ibu itu turun dari truk dibantu tentara berpakaian tempur loreng ternyata terjadi di Falujah Irak beberapa bulan silam. Sama sekali bukan terjadi diwilayah Aleppo Suriah. Itu foto milisi di Falujah Irak, bukan tentara Suriah. Tapi foto itu dijadikan alat penting bagi pro Bashar kepada dunia bahwa mereka melakukan hal yang terpuji bagi penduduk Aleppo.
Pelajaran terpenting buat penduduk non Aleppo adalah jangan mudah percaya informasi apapun disana.
Pada akhirnya yang paham 100% masalah disana adalah penduduk Aleppo sendiri, bukan diluar kota itu. Informasi yang berseliweran di medsos selama tidak bisa diverifikasi oleh pihak ketiga yang netral, maka dipastikan itu keluar dari salah satu pihak bertikai, entah itu pro pemerintah, atau pihak pemberontak
[vc_row][vc_column][vc_video link=”https://youtu.be/JY4xtHjJN3E”][/vc_column][/vc_row]