BATANG, REPORTASE – Menjadi guru dan berpetualangan di medan yang ekstrem mungkin tidak semua guru merasakannya. Namun, hal inilah yang dijalani para guru SD dan SMP di perbatasan Kabupaten Batang-Kabupaten Banjarnegara.
Selain menjadi guru, mereka setiap hari juga menjadi seorang petualang. Bagaimana tidak, guru-guru di 5 sekolahan setempat, harus bertaruh nyawa demi mencerdaskan anak-anak desa terperencil.
Lokasi terperencil tidak adanya akses jalan, membuat belasan guru SMP dan SD harus menyeberang 2 bukit yang rawan longsor. Belum lagi, intensitas hujan yang tinggi, terkadang membuat akses jalan kaki yang ada, terkena longsor.
Mereka harus membuat akses jalan kembali. Ada belasan guru SD dan SMP yang harus bertaruh nyawa demi memperjuangkan nasib anak-anak desa di sabuk pegunungan Dieng ini. Bukan hanya jauh, namun uang honor yang diterima para guru pengabdi ini, tidak sebanding dengan perjuangannya.
Bayangkan saja, untuk guru SMP, mereka hanya dibayar Rp 300 Ribu perbulan, sedangkan untuk guru SD hanya dibayar Rp 200 Ribu perbulannya.
“Kalu saya di SMP sudah dua tahun ini menjalanai setiap hari medan yang seperti ini. Kami harus sampai ke lokasi sekolah, dengan medan apapun juga,†Ujar Eko, salah satu seorang guru pengabdi di SMP N 4 Bawang.
Biasanya, mereka berjalan berombongan saling menjaga untuk berjalan di 2 bukit yang rawan longsor. “Banyak longsor, jalan yang telah kita buat juga ikut longsor. Setiap kali kena longsor kita harus membuat rute dan mencari jalan baru,†lanjutnya.
Ya, guru-guru yang mengajar di SD dan SMP memang, tidak berasal dari desa dan dusun setempat. Kebanyakan mereka berasal dari luar desa. Akses jalan bermotor satu-satunya yang bisa dilalui hanya sampai di dusun Prenten.
Untuk mencapai SMP 4 Bawang yang berada di Dusun Sigemplong, mereka harus melanjutkan perjalnaan dengan jalan kaki, naik turun2 bukit. Tidak hanya para guru SMP 4 N Bawang saja yang bernasib sama. Para guru di SD Pranten 1, SD Pranten 2, SD Pranten 3 dan SD Bintoro Mulyo juga harus menjalani aktivitas petualang saat berangkat maupun pulang mengajar.
“Takutnya bila hujan turun dan berkabut. Ketar-ketir juga saat menuruni bukit seperti itu,” kata Evaliana Nur Aisyah, guru pengabdi di SMPN 4 Bawang.
Keberadaan SMP N 4 Bawang sendiri, merupakan sekolah yang dibangun atas bantuan hibah Pemerintah Australia 2 tahun lalu. Tujuannya, agar anak-anak di perbukitan itu bisa melanjutkan sekolah. Sebelumnya, lulusan SD Pranten 1, SD Pranten 2, SD Pranten 3 dan SD Bintoro Mulyo, tidak dapat melanjutkan pendidikan karena lokasi SMP jauh dan aksesnya sulit.
Di SMP 4 Bawang sendiri, memiliki 15 karyawannya, dimana 14 karyawan masih berstatus honorer, sedangkan PNSnya hanya kepala SMP N 4 Bawang. Upah para honorer atau pengabdian ini perbulan hanya Rp 300 ribu rupiah.
“Ya saya jalani saja, hidup itu mengalir. Yang penting kita puas bila sudah membuat anak-anak belajar di sekolah,†kata Evaliana.
Bila honor pengabdian guru SMP Rp 300 Ribu perbulan, berbeda dengan guru pengabdian SD yang hanya Rp 200 Ribu perbulan. “Kalau guru SD perbulanya Rp 200 ribu. Saya merasa kasihan, tapi mereka tetap semangat,†Kata Kirno, salah satu guru SD.
Sulitnya akses jalan juga membuat pemukiman warga setempat tidak dapat mengakses ke ibu kota kecamatan. Justru akses jalan ke kabupaten tetangga yakni ke kabupaten Banjarnegara, sudah ada. (RB)