Depok, reportasenews.com-Setelah 10 hari terbaring tak berdaya, sastrawan Gerson Poyk akhirnya meninggal dunia sekitar jam 11.00 WIB di RS Hermina, Depok, Jawa Barat, Jumat (24/2).
Sastrawan Herson Gubertus Gerson Poyk sejak empat tahun ini, digerogori penyakit jantung dan berbagai komplikasi lain yang membuat dirinya kini hanya terbaring, diam, di ruang ICU.
“Bapakku sudah meninggal,” demikian pesan pendek di media sosial Fanny Poyk, anak Gerson yang setia menunggunya di saat-saat kritis.
Selang infus, bunyi statis alat perekam detak jantung dan botol-botol obat yang membekap dirinya, tampaknya menjadi teman setia di hari-hari sepi dirinya. Hirupan nafas tua satu-satunya, membasahi ruang perawatannya selama 10 hari terakhir ini.
“Inilah nasib papa, kami sudah kelelahan menangis dan tak ada lagi air mata yang tumpah menyaksikan kondisinya,” jelas Fanny Poyk.
Gerson Poyk semasa masih sehat. Ia pernah menerima penghargaan Anugerah Kebudayaan tahun 2011 dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Gerson Poyk semasa masih sehat. Ia pernah menerima penghargaan Anugerah Kebudayaan tahun 2011 dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Bagi yang lupa siapa Gerson Poyk, ia dilahirkan di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, 16 Juni 1931.
Pada tahun 1963 ia menjadi wartawan Sinar Harapan hingga 1970. Gerson yang semenjak itu menjadi penulis lepas hingga kini telah menciptakan ratusan karya novel, cerpen, dan puisi. Beberapa karya yang telah dipublikasikan seperti Sang Guru, Nyoman Sulastri, Doa Perkabungan, Requiem untuk Seorang Perempuan, Di Bawah Matahari Bali, Mutiara di Tengah Sawah, dan Surat-surat Cinta Alexander Rajaguguk.
Beberapa karyanya juga telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti bahasa Inggris, Jerman, Rusia, Belanda, Jepang dan Turki. Bahkan, banyak mahasiswa dalam dan luar negeri memperoleh gelar S1, S2 dan S3 dengan skripsi dan tesis mengenai karya-karyanya.
“Karya-karya yang telah saya tulis banyak terinspirasi dengan latar belakang kehidupan saya pada masa lalu, batin dan alam bawah sadar saya selalu bergejolak. Energi inilah yang selalu membuat saya bergerak untuk mulai menuliskan puisi dan puisi telah menjadi energi spiritual bagi saya,” ujar Gerson, suatu kali, ketika menerima penghargaan Anugerah Kebudayaan tahun 2011 dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kerja keras dan usahanya telah membuahkan hasil yang luar biasa, beberapa penghargaan sastra dari dalam dan luar negeri seperti Hadiah Sastra Asia Tenggara “Sea Write Award”, Lifetime Achivement Award dari Harian Kompas, dan Adinegoro Award pada tahun 1985 dan 1986 pun berhasil diraihnya. Selain itu Gerson juga kerap diundang dan mengikuti berbagai acara pertemuan seperti International Creative Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat dan pertemuan sastrawan Asia-Afrika di New Delhi, India.
Nama besar Gerson menjadikan ia “setengah dewa” bagi masyarakat dan sastrawan di tanah kelahirannnya. Bahkan Komunitas Sastrawan NTT menetapkan tanggal lahir Gerson pada 16 Juni, sebagai Hari Sastra NTT.
Menurut Fanny, “jalan pulang” ke kampungnya sudah disiapkan oleh seorang dermawan.
“Besok jenazah papa akan dibawa ke Kupang, akan dimakamkan di tanah kelahirannya agar masyarakat sastra NTT bisa mengenangnya. Biayanya ditanggung seorang dermawan pengagum papa,” jelas Fanny kepada reportasenews.com.
Kematian Gerson Poyk ini, sepertinya berjalan sesuai dengan “jalan cerita hidupnya”.
Dua hari lalu, Fanny bercerita walau Gerson dirawat dengan tanggungan BPJS, plafon biayanya sudah mendekati habis.
“Biaya BPJS sewaktu-waktu bisa habis sesuai plafonnya. Kami tampaknya harus pasrah dengan biaya perawatan papa. Ini mungkin sudah jalannya.,” lirih Fanny, dua hari lalu kepada reportasenews.com.
Indonesia kehilangan salah satu sastrawan besar, meninggal dalam kehampaan dan tanpa perhatian pemerintahnya. (tat).