Odense, Denmark, reportasenews.com-Musim gugur di Skandinavia meninggalkan angin kencang yang tak terkira. Daun-daun berwarna kuning perlahan rontok berjatuhan, meninggalkan dahan kosong.
Setelah bermalam di Malmo, Swedia, kami melanjutkan perjalanan menyusuri pulau-pulau kecil disepanjang ujung selatan Swedia. Tujuan perjalanan darat ke Krakow, Polandia masih sejauh 1100 km.
Dengan melihat peta jalan, Dariusz Stanislaw (46), ahli bangunan asal Polandia yang hendak pulang kampung mengunjungi orang tuanya di Polandia, memutuskan melewati Jembatan Oresund. Di Indonesia ada jembatan panjang seperti di Batam atau Suramadu, namun Jembatan Oresund ini memuat kami terkejut dan kagum dengan mahakarya ini. Betapa tidak, jembatan ini panjangnya sekitar delapan kilometer. Setelah melewati jarak lima kilometer di atas laut, tiba-tiba jalannya menurun dan menghujam melalui terowongan bawah laut yang dibuat di atas pulau buatan bernama Peberholm. Di sinilah kemudian petualangan bawah laut Anda dimulai.

Pulau Peberholm menjadi induk terowongan bawah laut yang dinamai Drogden Tunnel. Ia membentang sepanjang empat kilometer di bawah laut. Dengan kata lain, Anda akan berjalan di sejauh 4 kilometer di bawah Kanal Flint berujung di Kobenhavn, Denmark. (foto: Ist)
Pulau Peberholm menjadi induk terowongan bawah laut yang dinamai Drogden Tunnel. Ia membentang sepanjang empat kilometer di bawah laut. Dengan kata lain, Anda akan berjalan di sejauh 4 kilometer di bawah Kanal Flint berujung di Kobenhavn, Denmark.
Jembatan Oresund ini dirancang oleh seorang arstitek Denmark bernama George K.S. Rotne dan dibuka pada 1 Juni 2000. Ini merupakan mahakarya arsitektur yang tiada duanya, menjadikan kunjungan antara negara menjadi lebih cepat dan mudah.
Selain itu, dalam sebuah artikel yang dikutip dari earthporm.com, jalur ini ternyata memberi dampak positif bagi flora dan fauna di area tersebut. Pemerintah setempat membiarkan mereka hidup bebas dan berkembang biak, sehingga menjadi surga bagi burung dan katak hijau yang langka.
Sayur Kangkung dan Sambel Peda
Bagawanti Esti Suyoto sibuk berkomunikasi dengan rekannya di ujung telepon, ia hendak memastikan kami tidak nyasar ke kota lain di Denmark. GPS di gawai yang dibawanya memang membantu kami menyusuri jalanan antara negara dengan mudah, namun kami tetap saja was-was berkendara di negeri orang. Salah jalan bisa repot, karena di negara-negara Eropah tidak semua orang senang ditanyai di jalanan seperti di Indonesia. Itupun jika ada orang di pinggir jalan, sebab sepanjang jalan 300 km ke Denmark kami tidak menjumpai orang atau polisi berada di jalanan. Mau tanya ke siapa?
Siang ini, Bugi panggilan akrab Bagawanti sudah memastikan bahwa Wynda Astutik kawannya di ujung telepon sudah menanti di Kota Odense, sebuah kota ketiga terbesar di Denmark yang letaknya terpisah di Pulau Fyn. Pulau kecil diantara Pulau Jylland di barat dan Pulau Sjaelland di timur Ini kota besar tapi kecil, karena penduduknya hanya 176.000 jiwa. Menempatkan Odense sebagai kota terbesar ketiga di Denmark setelah Kopenhagen dan Arhus.
Pemandangan Kota Odense, yang berhias daun-daun berwarna kuning yang berjatuhan di musim gugur, bagaikan kisah dongeng Hans Christian Andersen. Jangan heran, karena memang tokoh pengarang masa kecil saya itu ternyata lahir dan menulis buku-buku dongengnya di kota ini.
Wynda dan suaminya Agus Hasan ahli robotik yang mengajar di University of Southern Denmark, bermukim dengan bahagia di lingkungan yang menawan ini. Angin kencang menyambut kedatangan kami di rumahnya yang modern dan minimalis, di pinggiran Odense. Bak kawan lama yang jarang berjumpa, padahal kami baru bertemu, kami disambut dengan ramah khas Indonesia penuh senyum dan makanan kampung halaman yang luar biasa.
Berminggu-minggu menjelajahi Eropa dan mencoba beradaptasi dengan makanan roti dan keju, tak membuat lidah kami cepat pudar kebhinnekaanya. Teh manis panas dengan bolu kukus, wingko menjadi kue pembuka yang maknyuss.

Wynda Astutik, tuan rumah yang raman menyajikan makan khas Indonesia. Kami tak menyiakan kesempatan uenak ini, apalagi di hadapan kami terhidang sayur kangkung, sambel peda, bebek goreng dan capcay goreng.
Wynda ini adalah master dibidang perminyakan lulusan NTNU Trondheim, Norwegia. Namun karena lebih menyayangi kehidupan kecilnya dengan anak semata wayangnya Aisyah yang tak ingin jauh dari ayahnya, ia rela pindah ke Odense.
“Gak apalah saya tinggalkan karir, yang penting keluarga saya terjaga,” tuturnya.
Kini master perminyakan itu, patut diduga telah berubah menjadi master masakan khas Indonesia yang jempolan. Dari dapurnya sudah tercium aroma sambel terasi, bau tahu-tempe goreng yang membuat rindu tanah air.
Kami tak menyiakan kesempatan uenak ini, apalagi di hadapan kami terhidang sayur kangkung, sambel peda, bebek goreng dan capcay goreng. Saya, Ari, Bugi melepaskan sendok garpu, kembali ke selera “kampung” makan pakai tangan. Dariusz tetap sebagai warga Eropah, makan santun dengan besi dan tanpa sambal.
Rumah HC Andersen
Sekitar 200 tahun lalu, HC Andersens lahir dan menghabiskan masa kanak-kanaknya di rumah mungil di pojok jalan Hans Jensens Straede, sebuah kawasan kumuh nan padat di Odense.
Odense memang elok, maka tak heran jika kota ini memberikan banyak inspirasi kepada sastrawan Denmark itu, untuk menghasilkan karya-karya agung nan legendaris.
Hans Christian Andersen, akrab betul dengan setiap jengkal tanah Odense. Karena itu Odense membalasnya dengan menuntun Hans untuk memperoleh inspirasi bagi dongeng-dongeng karyanya. Odense adalah pemantik Hans untuk tumbuh menjadi pengarang cerita anak yang paling termasyhur di dunia.

Sekitar 200 tahun lalu, HC Andersens lahir dan menghabiskan masa kanak-kanaknya di rumah mungil di pojok jalan Hans Jensens Straede, sebuah kawasan kumuh nan padat di Odense
Kami mengunjungi rumah Hans di jalan Hans Jensens Straede, dengan kenangan akan cerita dongeng pengantar tidurnya. Saya sendiri masih terkenang dengan buku-bukunya, terutama masa-masa kecil ketika di sekolah dasar. Antusias itu pula yang mengantar kami ke pemukiman kuno Odense, mencoba mereka-reka bagaimana Hans bisa terinspirasi mengarang ceritanya dengan indah.
Rumah bercat kuning itu masih berdiri kokoh seperti 200 tahun lalu, dipojokan jalan. Bukan hanya itu, wilayah sekitarnya juga dijaga sama aslinya dengan jalan-jalan dari batu yang terkesan kunonya. Beberapa bagian rumah itu kini telah berubah menjadi museum H.C Andersens Hus, salah satu obyek wisata kota Odense.

Rumah Hans Christian Andersen dulunya adalah daerah perkampungan padat.
Rumah mungil itu satu dan lain saling berdempetan dan bahkan ada beberapa yang masih ditempati, ujar Wynda, yang menemani kami melancong ke masa silam dengan mimpi-mimpi indah kisah Little Mermaid, Gadis Korek Api, Angsa-angsa Liar, Si Itik Buruk Rupa dll.
Pada 1930 pemerintah dan masyarakat Denmark menyulap kompleks perumahan kumuh itu menjadi museum HC Andersen Hus dan menyisahkan rumah sang pengarang yang mungil dalam bentuk semula.
Hans Andersen lahir dari keluarga miskin. Ayah Hans hanyalah pembuat sepatu yang buta huruf, ibundanya, Anne Marie Andersdatter, bekerja sebagai buruh cuci.
Namun itu tidak membuat HC Andersen merasa rendah diri. Latar belakangnya yang hidup dalam keterbatasan, justru menjadi ruh dari dongeng-dongengnya, yang kni telah diterjemahkan ke dalam 150 bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Dengan membayar karcis masuk seharga 60 kroner Denmark, pengunjung tidak saja dapat menikmati karyanya tetapi juga memasuki kehidupan sang pengarang.
Museum itu juga menggambarkan beragam peristiwa yang dialami Andersen dalam kurun waktu 70 tahun, termasuk masa-masa sulit saat hidupnya diliputi kemiskinan.
Dalam buku “The Fairy Tale of Hans Christian Andersen” yang disusun Odense City Museum, H.C Andersen menyebutkan warna favoritnya biru, senang bunga mawar, menyukai harumnya hawa segar, pemandangan laut merupakan obyek yang menarik baginya.
Kendati tak mengenal bangku sekolah dan percaya takhayul, sang bunda Anne Marie Andersdatter, membuat H.C Andersen berkenalan dengan cerita rakyat. Ayahnya seorang pencinta sastra kerap mengajak Hans menonton pertunjukkan sandiwara.

Rumah miring di Kawasan HC Andersen, peninggalan abad pertengahan Denmark yang menarik dan dirawat dengan baik.
Dalam otobiografinya, “The True Story of My Life” yang terbit tahun 1846, H.C. Andersen menulis, “Ayah memuaskan semua dahagaku. Ia seolah hidup hanya untukku. Setiap Minggu ia membuatkan gambar-gambar dan membacakan certa-cerita dongeng”.

Dalam buku “The Fairy Tale of Hans Christian Andersen” yang disusun Odense City Museum, pengunjung bisa membelinya dengan harga terjangkau.
Perjalanan masih panjang 1000 km ke Krakow, Polandia, namun kami masih terhanyut dalam kisah dongeng HC Andersen.
Tak lama roda mobil berputar ke arah Hamburg, Jerman, saya tertidur dan bermimpi tentang gadis jujur asal Bandung yang menjadi cinta sejati pangeran tampan, kaya dan baik hati. Kalau yang ini, mungkin terkena efek kekenyangan tahu sumedang dan sayur kangkung yang maknyuss. (Hendrata Yudha, Odense Denmark).