JEPANG, REPORTASE - Jepang selama ini dikenal sebagai negara yang mengedepankan keseimbangan di dalam kurikulum sekolahnya. Mereka mengajarkan ilmu pengetahuan modern dan tradisi secara seimbang, agar anak-anak mereka sanggup memecahkan tantangan-tantangan ilmiah, sekaligus menjadi sosok yang tak melupakan adat dan tradisi ketimurannya.
Selain itu, terobosan juga dilakukan Kementerian Pendidikan Jepang demi meraih keseimbangan dalam hal lain, yaitu keseimbangan fisik. Mereka menganjurkan penggunaan sepeda roda satu, atau unicycle, ke setiap SD di Jepang.
Motoko Rich, dalam artikelnya di NY Times baru-baru ini, menyebutkan, hampir setiap SD di kota-kota besar di Jepang memiliki rak sepeda roda satu, untuk digunakan saat istirahat sekolah. Selain itu, Motoko menambahkan, Kementerian Pendidikan juga menganjurkan alat bermain lain, yang dianggap bisa membantu keseimbangan tubuh anak, misalnya, hula hoop dan egrang.
Sebenarnya, penggunaan sepeda roda satu di SD-SD Jepang bukanlah hal baru. Business Insider menyebutkan, tren ini sudah dimulai lebih dari dua dekade yang lalu, tepatnya tahun 1989, saat Kementerian Pendidikan menganjurkan penggunaan sepeda roda satu. Sejak itu, sekolah-sekolah mulai berlomba-lomba menawarkan pelatihan sepeda roda satu di dalam kurikulumnya.
Setiap tahun, NY Times mencatat, Asosiasi Perusahaan Lotere Jepang, mengguyurkan dana untuk pembelian 2.000 sepeda roda satu bagi sekolah-sekolah di seluruh negeri. Bahkan, untuk memacu semangat, Kementerian Pendidikan juga mengadakan ajang kompetisi sepeda roda satu antar-sekolah setiap tahun.
Selain mengajarkan keseimbangan, ternyata ada banyak hal lain yang berusaha ditanamkan. Di sana, anak-anak diwajibkan mengurus sendiri sepeda mereka, meski itu properti sekolah. Mereka harus membersihkannya sebelum menggunakan, bahkan memompa sendiri, bila ban sepeda kempis. Seusai pemakaian, mereka pun wajib mengembalikannya ke rak dengan rapi, karena rata-rata sekolah di Jepang tak memiliki petugas kebersihan. Dengan begitu, anak-anak pun belajar mandiri, tanpa menggantungkan diri ke pihak sekolah.
Saat pertama belajar menggunakannya, anak-anak tentu saja akan jatuh beberapa kali, bahkan terluka, sebelum bisa benar-benar bisa menggunakannya. Dari sini, mereka akan belajar untuk tabah, karena kesuksesan bukanlah sesuatu yang mudah diraih. Mereka harus bisa melewati proses jatuh-bangun untuk bisa mencapai yang diinginkan.
Di kala banyak institusi lain menjejali anak dengan pelajaran dan tugas sekolah yang menumpuk, Jepang justru menggunakan metode yang kemungkinan besar akan diserap dengan baik oleh anak-anak, bermain. Dengan bermain, anak-anak belajar bertanggung jawab dan berkomunikasi, sekaligus bersenang-senang.
Selain itu, seiring dengan semakin enggannya para orang tua melepas anak bermain di luar rumah, sekolah bisa menjadi arena permainan yang bagus bagi anak-anak. Jadi, mungkin tak ada salahnya bila sekolah-sekolah, lebih banyak memasukkan sarana bermain dan, mungkin, menambah waktu istirahat siswa, sehingga siswa memiliki waktu lebih untuk bermain, sekaligus belajar banyak dari permainan itu. (Elias Widhi/ dari berbagai sumber)