Jakarta, reportasenews.com – Pelantikan Oesman Sapta Odang (OSO) menjadi Ketua DPD RI yang dilakukan Wakil Ketua Mahkamah Agung Suwardi terus menuai polemik.
Sekretaris Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, Julius Ibrani berencana menggugat Surat Keputusan (SK) pengangkatan Oesman Sapta Odang sebagai Ketua DPD RI periode 2017-2019.
Julius Ibrani menyataakan gugatan itu bakal dilayangkan bila Komisi Yudisial (KY) tidak menggubris laporan mereka terkait pelantikan itu OSO.
“Kami akan menggugat SK pelantikan lewat Pengadilan Tata Usaha Negara. Kami yakin itu dikabulkan karena semua prosedurnya melanggar hukum,” kata Julius di rumah makan Bumbu Desa, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu 7 Mei 2017.
Julius mengatakan pelanggaran ini tak hanya berdampak pada DPD RI atau pun lembaga pemerintah lainnya, tapi juga akan berdampak pada masyarakat umum. Ia pun berharap PTUN nantinya bisa bersikap independen dengan gugatan yang akan mereka ajukan.
“Kami mengharapkan ada independensi dari PTUN yang jika nanti menerima gugatan kami dia akan melihat pelanggaran ini dan mencabut SK itu sehingga pimpinan DPD RI periode 2017-2019 tidak sah,” ujar Julius.
PBHI telah melaporkan Suwardi ke KY dengan dugaan pelanggaran etik karena telah melantik Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta, Nono Sampono, dan Darmayanti Lubis sebagai pimpinan DPD RI periode 2017-2019. Pelantikan ini dinilai tidak sah karena dalam Undang-Undang MD3, hanya Ketua MA yang berhak melantik pimpinan DPD.
Julius mengatakan lembaganya akan mengkaji ulang keabsahan prosedur pemilihan Ketua DPD RI. Sebab menurut dia, ada keganjilan yang terjadi selama proses pemilihan.
Keganjilan pertama adalah soal waktu pemilihan yang sangat singkat. Pemilihan terjadi pada 4 April 2017 pukul 02.00 WIB, malamnya terjadi pelantikan dan pengambilan sumpah.
Kedua, adanya pertemuan tertutup yang dilakukan Suwardi dengan Sekretaris DPD Sudarsono Hardjosoekarto dan Wakil Ketua Umum DPP Hanura Gede Pasek Suardika.
Julius mengatakan pertemuan tertutup itu sangat mencurigakan. “Tentu tidak ada satu pun hal yang membolehkan adanya forum yang membahas putusan atau eksekusi putusan yang forumnya secara tertutup, tidak transparan, dan ada kaitannya dengan politik,” katanya.
Menurut Julius, hanya hakim dan dewan yang berkepentingan yang boleh mendiskusikan putusan. Ketika ada pihak lain yang melakukan pertemuan dengan hakim terkait dengan putusan, maka forum itu bisa disebut ilegal. “Kami akan menyebutnya itu forum yang ilegal, yang ditunggangi dengan kepentingan politik, bukan forum yang sah,” kata dia.(tat/tnr)