Liputan Khusus Reklamasi
“Luas Pulau G sudah dipangkas menjadi 180 hektare area (ha) dari semula 400 ha demi mengakomodasi infrastruktur bawah laut yang ada di sana,” ujar Ahok.
Jakarta, reportasenews.com – Kilat blitz kamera bertubi-tubi menerpa Ariesman Widjaja, Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Tbk, saat menyerahkan diri ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat, 1 April 2016.
Ariesman, ketika itu, menjadi tersangka kasus suap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Mohamad Sanusi. Selain Ariesman dan Sanusi, Trinanda Prihantoro, staf Ariesman, yang berperan sebagai perantara dalam kasus itu, juga ditetapkan sebagai tersangka.
Kasus ini terungkap dalam operasi tangkap tangan pada Kamis, 31 Maret 2016. Dalam operasi itu, KPK berhasil mengamankan barang bukti uang sebesar Rp 1,14 miliar. Sebelumnya, Sanusi telah menerima uang Rp 1 miliar pada 28 Maret 2016. Uang suap pertama itu, tersisa Rp 140 juta. Total suap yang diterima Sanusi Rp 2 miliar.
Kasus suap tersebut terkait dengan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
Menurut vonis hakim, selain ingin mempercepat pengesahan kedua raperda di atas, suap tersebut juga dimaksudkan untuk membantu menghilangkan tambahan kontribusi sebesar 15% dari nilai Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang dimiliki oleh pengembang yang diatur dalam Pasal 116 Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis. Alasannya adalah nilai sebesar 15% tersebut memberatkan para pengembang reklamasi.
Dalam putusannya 1 September 2016 lalu, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akhirnya memvonis Ariesman 3 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan. Sedangkan Trinanda dijatuhi hukuman 2 tahun 6 bulan bui dan denda Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan.
Penangkapan Ariesman seolah membuka kotak pandora masalah yang melilit proyek reklamasi pulau buatan di Teluk Jakarta.
Masalah Perizinan
Nelayan menganggap izin reklamasi yang dikeluarkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok melanggar sejumlah aturan dan merugikan nelayan.
Majelis hakim PTUN ternyata setuju dengan gugatan nelayan. Pada 31 Mei 2016, PTUN mengabulkan gugatan dan menyatakan SK Gubernur DKI Nomor 2.238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta kepada PT Muara Wisesa Samudra tidak sah.
Hanya berselang sebulan kemudian, keputusan serupa juga dikeluarkan komite gabungan Kemenko Maritim. Pada 30 Juni 2016, komite memutuskan menghentikan proyek reklamasi secara permanen di Pulau G dan selanjutnya mengambilalih pelaksanaan reklamasi menjadi tanggungjawab pemerintah pusat.
Gubernur DKI yang tidak puas lantas mengirim surat ke Presiden Joko Widodo pada 1 Juli 2016. Isinya mempertanyakan keputusan komite bersama. Selain menggugat dasar hukum keputusan komite bersama.
Ahok juga mempertanyakan keputusan menghentikan reklamasi Pulau G. Sebab, luas Pulau G sudah dipangkas menjadi 180 hektare area (ha) dari semula 400 ha demi mengakomodasi infrastruktur bawah laut yang ada di sana.
Hanya berselang satu bulan kemudian, tepat 20 Oktober 2016, giliran Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) yang mengabulkan permohonan banding Pemprov DKI atas reklamasi. PTTUN memutuskan membatalkan putusan PTUN sebelumnya. Artinya, reklamasi Pulau G, dan keseluruhan proyek reklamasi bisa dilanjutkan kembali.
Dengan proyek yang kembali berjalan, apakah kontroversi akan surut?
(Tim reportasenews.com)