Menu

Mode Gelap

Nasional · 16 Jan 2017 12:42 WIB ·

Takbir Histeris di Sentra Timur


					Reklamasi Teluk Jakarta / foto istimewa Perbesar

Reklamasi Teluk Jakarta / foto istimewa

Liputan Khusus Reklamasi

“Terlalu naif kalau ini proyek dilaksanakan di Jakarta karena masa iya Jakarta bukan kawasan strategis nasional?” ujar Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

Gema takbir mendadak membahana di ruang sidang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Selasa itu. Ratusan nelayan yang memadati ruang sidang langsung histeris. “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” teriak mereka bersahutan.

Pengunjung lainnya yang ada di luar ruang sidang juga ikut meneriakkan lafaz takbir. Mereka bersorakan dan berjingkrak-jingkrakan sebagai ekspresi kemenangan. Begitulah suasana pembacaan putusan majelis hakim PTUN, 31 Mei 2016 silam.

Para nelayan layak gembira. Hari itu, majelis hakim memutuskan Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta bernomor 2238/2014 tentang Pemberian Izin Reklamasi Pulau G oleh PT Muara Wisesa tidak sah.

Gugatan terhadap Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta ini dilayangkan oleh Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta yang terdiri atas sejumlah organisasi seperti Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.

Ketua Bidang Pengembangan Hukum dan Pembelaan Nelayan KNTI Martin Hadiwinata mengaku bersyukur atas putusan sidang gugatan yang dimenangkan pihaknya. Pasalnya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama ( Ahok) dinilai tidak berwenang mengeluarkan izin reklamasi di Teluk Jakarta dan melanggar sejumlah aturan.

Sejatinya, sejak awal dirumuskan, proyek reklamasi tidak pernah sepi dari kontroversi aspek legal. Rencana proyek yang dulu bernama Jakarta Coastal Development Strategy itu pertama dipaparkan di hadapan Presiden Soeharto. Ujungnya, keluar Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Keppres ini akan menjadi dasar hukum reklamasi yang kontroversial.

Pada 2003, KLH memutuskan proyek reklamasi tidak bisa dilakukan karena Pemprov DKI tidak mampu memenuhi kaidah penataan ruang dan ketersediaan teknologi pengendali dampak lingkungan. Muncul SK Menteri Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara.

KLH lalu mengajukan banding atas keputusan itu, tetapi PTUN tetap memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut. KLH lalu mengajukan kasasi ke MA. Pada 28 Juli 2009, MA memutuskan mengabulkan kasasi tersebut dan menyatakan, reklamasi menyalahi amdal.

Pada 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 122/2012. Perpres tersebut menyetujui proyek reklamasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pada 2015, Gubernur DKI Basuki T. Purnama akhirnya memberikan izin pelaksanaan reklamasi kepada beberapa pengembang pulau. Proyek pun berjalan. Tapi dengan kontroversi yang mengikuti. Problemnya, izin Gubernur DKI mendasarkan payung hukum kepada Keppres 52/1995.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menilai, karena pantai utara Jakarta adalah kawasan strategis nasional tertentu maka ijin lokasi menjadi kewenangan dari Menteri KKP sesuai Pasal 16 ayat 2 Perpres 122/2012.

“Terlalu naif kalau ini proyek dilaksanakan di Jakarta karena masa iya Jakarta bukan kawasan strategis nasional?” ujarnya.

Dalam reklamasi Teluk Jakarta, izin prinsip sudah dikeluarkan oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, Fauzi Bowo. Izin prinsip tersebut kemudian sudah ditindaklanjuti dengan izin pelaksanaan reklamasi oleh Gubernur Basuki T. Purnama atau Ahok.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai Keppres 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang menjadi landasan reklamasi Teluk Jakarta terdapat banyak kontradiksi.

“Presiden sependapat dengan masukan Ketua KPK bahwa Keppres 52/1995 tentang reklamasi pantai utara Jakarta telah banyak kontradiksinya. Oleh karena itu Keppres itu harus diubah dan disesuaikan dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku ,” kata Laode

Cuma, pada 20 Oktober 2016, giliran Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) yang mengabulkan permohonan banding Pemprov DKI atas reklamasi. PTTUN memutuskan membatalkan putusan PTUN sebelumnya.

Direktur Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Nur Hidayati menyatakan akan terus berjuang menuntut pemerintah untuk segera menghentikan proyek reklamasi Teluk Jakarta, karena dianggap merusak lingkungan pantai, dan mengganggu kehidupan nelayan.

” Kita akan terus tekan pemerintah karena proyek reklamasi tersebut dianggap merusak lingkungan dan mata pencaharian nelayan,” kata Nur saat dihubungi reportasenews.com

Sementara nelayan pesisir Jakarta telah mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung  (MA) 7 November 2016 lalu. Artinya, reklamasi Pulau G, dan keseluruhan proyek reklamasi bisa dilanjutkan kembali sembari menunggu proses Kasasi. (Tim reportasenews.com)

 

 

Komentar

badge-check

Reporter

Baca Lainnya

Ratusan Rumah Warga di Kecamatan Mangaran, Tergenang Air Setinggi Lutut

6 Desember 2024 - 22:27 WIB

Pj Gubernur Sultra Tinjau Bedah Perdana Pintas Arteri Koroner di RS Jantung Oputa Yi Koo

6 Desember 2024 - 22:12 WIB

Jalan Raya Banyuglugur Banjir, Jalur Pantura Situbondo-Probolinggo Sempat Macet

6 Desember 2024 - 20:00 WIB

Pasca 2 Insiden Penembakan Oknum Polisi, Polres Situbondo Periksa 44 Senpi Anggotanya

6 Desember 2024 - 19:56 WIB

Polres Langkat Ungkap Kasus Pencurian Besi Jembatan Tanjungpura

6 Desember 2024 - 17:35 WIB

Menko Hukum dan HAM Yusril : Mary Jane akan Dipindahkan ke Negara Asalnya Sebelum Natal

6 Desember 2024 - 17:15 WIB

Trending di Hukum