Probolinggo, reportasenews.com – Puluhan siswa Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Aliyah(MA) dan Raudotul Athfal (RA) yakni lembaga pendidikan setingkat TK, di Dusun Kedung Mirih, Desa Opo-opo, Kecamatan Krejengan, Kabupaten Probolinggo Jawa Timur, harus berjuang melewati Sungai Rondoningo, untuk berangkat sekolah.
Kondisi ini dilakukan para siswa karena tidak ada jembatan yang menghubungkan rumah mereka ke lokasi sekolah. Para siswa terutama yang berusia lima tahun harus bertaruh nyawa menyeberangi setiap harinya untuk menuntut ilmu di sekolah yang letaknya berada diseberang sungai tersebut.
Mereka harus mencopot sepatu dan mengangkat celananya setinggi diatas lutut agar tidak basah. Sementara bagi siswa yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak mereka harus digendong orang tuanya untuk menyeberangi sungai, yang berada sekitar dua kilometer dari tempat tinggalnya.
Menyeberangi aliran sungai bukan perkara yang mudah, selain kondisi bebatuannya yang licin, arus sungai yang cukup deras dapat menyeret mereka sewaktu-waktu banjir menerjang.
Dikatakan Samsul, salah satu perangkat Desa Opo-opo Krejengan, kondisi ini sudah terjadi sejak 30 tahun lalu hingga sekarang.
“Dulu kami pernah bangun jembatan dari bambu secara bergotong royong. Beberapa tahun lalu jembatan itu hilang karena terbawa banjir bandang,”ujar Samsul, ketika ditemui di rumahnya, Selasa (25/4).
Saat ini, kata Samsul, siswa sekolah harus diantar orang tuanya menyeberang. Sebab, pasca kejadian orang hanyut dan siswa terseret arus beberapa waktu lalu, pihak desa sepakat beserta guru, agar siswa sekolah diantar orang tuanya.
Saiful Anam, Kepala MI Nurul Islam membenarkan hal tersebut, sudah menjadi hal biasa melihat seragam anak didiknya itu basah kuyup ketika mereka memasuki gerbang sekolah. Dan terkadang mereka membiarkan anak didiknya itu tak menggunakan seragam ketika seragamnya benar-benar basah kuyup,
Mohammad Rendi (6), salah satu siswa MI saat ditemui usai menyeberangi sungai mengatakan, dengan polosnya jika menyeberangi sungai seperti itu membuatnya takut. Terlebih ketika kondisi sungai yang airnya keruh itu ketinggiannya tak seperti biasanya.
“Kalau dalamnya sudah diatas lutut, saya tidak berani nyeberang, paling saya nunggu orang tua untuk menyeberangkan, kalau tidak ada ya tidak sekolah,” katanya.
Warga berharap kedepannya ada jembatan untuk mereka terutama untuk anak-anak sekolah. “Setiap pagi ya seperti ini sudah mas, kita antar anak-anak menyeberangi sungai. Inginnya ada jembatan, tapi gimana lagi, sungai ini jalan utama bagi kami, mau tidak mau harus dilewati,” tutur Hanima, salah satu wali murid.
Guru dan wali murid berharap agar pemerintah segera membangunkan jembatan permanen, agar siswa-siswi sekolah di lingkungannya tidak terkendala, dan lancar untuk belajar mengajar.(dic)