JAKARTA, REPORTASE-Meningkatnya ancaman terorisme belakangan ini, membuat TNI tidak betah diam di barak. Timbul wacana mengembalikan peran TNI dalam ranah sipil, terutama mengambil-alih operasi penindakan teroris dari kepolisian.
Ketua Pansus RUU Anti Terorisme Muhammad Syafii mengakui hampir semua fraksi tidak lagi mempersoalkan pelibatan aktif TNI dalam operasi anti terorisme, bukan lagi sebagai tenaga bawah kendali operasi (BKO) Polri.
“Semua (fraksi) sepakat dituangkan dalam daftar inventaris masalah per fraksi, yang akan dimatangkan dalam masa sidang berikutnya,†jelas Syafii kepada pers di Jakarta, Jumat (21/10).
Dalam masa sidang saat ini, DPR sedang getol-getolnya membahas revisi UU No. 15Â Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam revisi itu, sejatinya mempertajam peran Polri dalam mencegah, menindak dan menghukum pelaku terorisme.
Hanya saja peran TNI yang dalam UU itu seakan “terpinggirkanâ€, dicoba mendominasikan peran penegakan hukum yang harusnya dipegang kepolisian.
Wacana peran aktif TNI ini, juga bertabrakan dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI yang hanya mengamanatkan perannya sebagai tenaga BKO pada Polri, itu juga dalam situasi tertentu. Bukan bersifat otomatis.
Upaya membawa TNI mengambilalih tindakan penegakan hukum ke gelanggang pendekatan perang itu, tidak terlepas dari komposisi anggota Komisi 1 DPR di DPR yang didominasi mantan jenderal. Terutama dari PDIP, Mayjen TNI (Purn) TB Hasanudin, Mayjen TNI (purn) Salim Mengga (Partai Demokrat), Mayjen TNI (Purn) Supiadin (Nasdem), Mayjen TNI (purn) Asril Hamzah (Gerindra).
Pengamat militer Al Araf menilai, upaya pansus membawa TNI ke medan operasi penertiban hukum itu, cenderung salah kaprah.
“Sangat keliru jika militer diatur dalam RUU Anti Terorisme, karena bertentangan dengan UU TNI,†tukasnya.  (tat)