Liputan Khusus Reklamasi
Serang, reportasenews.com – Suara menggeram itu terdengar dari laut yang gelap di kejauhan. Penduduk Desa Lontar, Serang, Banten, yang mendengarnya hanya mengintip dari jendela.
“Takut pak. Kalau malam kan gelap gak bisa lihat apa-apa. Jadi kita tidak berani keluar,” ujar seorang warga desa.
Warga desa tahu suara apa itu. Itu bukan suara makhluk mengerikan dari dasar lautan. Itu adalah suara trailing suction hopper dredger (TSHD), jenis kapal keruk berteknologi canggih.
Kapal jenis ini memiliki belalai yang bisa menjangkau dan menyedot pasir di dasar laut. Kapal ini lalu menyimpan pasir tersebut di lambungnya dan memuntahkannya kembali untuk membuat pulau atau mereklamasi pantai.
Aktivitas pengerukan pasir di pesisir Desa Lontar memang sudah lama dilakukan. Penambangan pasir laut mulai diperkenalkan di Kabupaten Serang sejak 2003. Saat itu, perizinan tambang memang masih berada di tangan Pemerintah Kabupaten.
Perlahan nelayan mulai merasakan dampak negatif dari aktivitas pengambilan pasir di pesisir.
Ketika Reportasenews.com berkunjung ke Lontar, tampak tambak yang dulu terisi rumput laut, ikan, dan rajungan, telah rata dengan laut. Tambak-tambak tersebut sekarang dibiarkan terbengkalai, terisi air laut dan hujan.
Abrasi air laut hanya sebagian masalah yang kini dihadapi masyarakat Lontar dari aktivitas penambangan pasir. Masalah lainnya adalah kerusakan ekosistem laut yang berujung rusaknya mata pencaharian nelayan.
Mendapat kompensasi
Perusahaan pemilik konsesi pasir, yang secara sadar merusak ekosistem nelayan, memberikan kompensasi ke penduduk. Besaran kompensasi yang diterima masyarakat tiap bulannya bervariasi antara sekitar Rp 200.000 hingga Rp 400.000.
Apakah semua penduduk juga mendapat kompensasi?
“Alhamdulillah, sampai sekarang belum dapat pak,†kata Maman.
Menurut Salmi, Ketua RT 01/RW 01 Desa Lontar, skema pemberian remunerasi sudah jelas. Pemberian remunerasi ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari persetujuan masyarakat untuk mengizinkan kembali aktivitas penambangan pasir.
Mekanismenya, wakil masyarakat setempat akan diikutsertakan ketika kapal keruk mengambil pasir di lokasi yang sudah ditentukan. Masyarakat nanti akan menerima kompensasi sebesar Rp 1.300 per meter kubik.
Dari data yang diperoleh, pasir di pesisir Lontar yang dikeruk sebuah perusahaan penambangan pasir selama 10 hari mencapai Rp 439.148 meter kubik. Dikalikan dengan Rp 1.300, dana kompensasi yang diterima masyarakat Lontar mencapai Rp 570.892.400.
Jumlah itu dibagi ke seluruh Kepala Keluarga (KK) yang ada di Lontar.
Lantas bagaimana dengan warga yang mengaku belum mendapat kompensasi? Menurut Salmi, ada warga yang tidak setuju dengan penambangan pasir dibuka kembali. Mereka memilih untuk menolak kompensasi.
“Walaupun banyak yang diam-diam menerima tapi minta diwakilkan karena malu,† katanya.
Warga banyak yang memutuskan menerima kompensasi, selain karena membutuhkan uang, sebagian warga juga tidak yakin aktivitas penambangan pasir merusak lingkungan.
“Katanya justru dengan disedot pasirnya di bawah laut, makin banyak ikannya karena tak ada lagi sedimen,†kata Salmi.
Camat Tirtayasa Mas Elan Apandi mengakui ada skema kompensasi untuk nelayan sekitar yang melibatkan perusahaan penambang dan pengurus RT/RW di desa masing-masing.
“Itu tidak lewat aparat pemda,†ujarnya.
Menurut Ferry (bukan nama sebenarnya), salah seorang pemain penambangan pasir di Serang, skema pembagian kompensasi memang tidak melalui aparat desa. Lurah dan camat hanya dilibatkan untuk membantu mengumpulkan warga.
“Ujung tombaknya memang RT/RW,†katanya.
Soal ada masalah dalam pembagian dana kompensasi, menurutnya, itu karena beberapa perusahaan sempat salah menunjuk orang yang tidak berintegritas.
Perusahaan umumnya menunjuk orang setempat untuk mewakili kepentingan perusahaan. Orang-orang inilah yang menjadi biang masalah. (RN)