Jakarta, Reportasenews – Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) merupakan pengurus piutang negara yang menerima penyerahan piutang dari Menteri Keuangan. Setelah menerima penyerahan piutang, PUPN dengan kewenangan yang dimilikinya melakukan pengurusan piutang negara. Keterangan ini disampaikan Ketua PUPN Pusat, Rionald Silaban dalam sidang perkara 128 uji materiil Perpu 49 tahun 1960 di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (28/5) pekan lalu.

“Sesuai dengan dokumen dari penyerah piutang, dapat diketahui bahwa penyerah piutang, dalam hal ini Menteri Keuangan, menetapkan piutang negara terhadap , Pemohon, Andri Tedjadharma berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK Nomor 34G/XII/11/2006 tanggal 30 November 2006 dengan nilai piutang 897 miliar rupiah”, lanjut Rional saat membacakan keterangan dihadapan Majelis Hakim Konstitusi.

Dengan kewenangannya, PUPN melalui KPKNL dan Satgas BLBI kemudian melakukan penyitaan dan lelang sejumlah aset pribadi dan keluarga Andri Tedjadharma yang tidak pernah dijaminkan ke pihak manapun.

Menurut Andri tindakan penyitaan yang mengatasnamakan negara tersebut merupakan perbuatan yang sangat keji dan zholim karena selama ini dirinya tidak pernah sekalipun ditetapkan sebagai penanggung utang oleh pengadilan dalam 9 kali berperkara.

Penetepan utang dengan dasar audit BPK Nomor 34G/XII/11/2006 tanggal 30 November 2006 terhadap dirinya justru membuktikan ketidak profesionalan dan kecerobohan aparat pemerintah dalam menjalankan tugas mereka.

“audit BPK Nomor 34G/XII/11/2006 tanggal 30 November 2006 adalah tentang Perjanjian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). Dalam audit tersebut jelas-jelas nama saya tidak ada dalam daftar karena tidak pernah menandatangani MSAA, MIRNIA, APU dan Personal Garansi. Sementara penanganan Bank Centris telah diserahkan ke kejaksaan. Saya tidak tau apa motif mereka, mau merampok saya?”, keluh Andri kesal.

Sementara menurut saksi ahli, Nindyo Pramono, pemegang saham suatu PT perbankan yang tidak pernah menandatangani PKPS, tidak
pernah menandatangani MSAA, MRNIA ataupun APU, dan tidak pernah
menjadi personal guarantee, kemudian secara sepihak ditetapkan
sebagai penanggung utang adalah tidak benar.

“menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 49 PRP 1960 penetapan tersebut merupakan penetapan yang tidak tepat”, jelas Nindyo.

Andri mengkritisi jabatan rangkap di pemerintahan yang terpusat pada satu orang bisa menimbulkan kekacauan sistem dalam sebuah lembaga. Kesalahan dari hulu bisa akan terus salah sampai hilir karena hilangnya fungsi pengawasan akibat rangkap jabatan.

“Dengan kewenangannya seperti tanpa batas mereka bisa melakukan apa saja. Apalagi dengan banyaknya jabatan rangkap yang terpusat pada satu orang. Bayangkan sebagai Dirjen Kakayaan Negara mewakili pemerintah sekaligus sebagai ketua PUPN yang menerima pelimpahan tugas dari pemerintah dan sebagai Ketua Satgas BLBI yang membawahi KPKNL di lapangan ini bisa menyebabkan kekacauan sistem lintas lembaga.”, ujar Andri Heran.

Faktanya kini dengan penetapan yang tidak tepat tersebut PUPN melalui KPKNL telah menyita harta pribadi dan keluarganya, sementara aset lahan 452 hektar yang jelas-jelas dijaminkan justru diabaikan dan tidak diperhitungkan.

Apalagi berdasarkan audit otentik BPK yang dijadikan bukti di pengadilan ternyata Bank Centris Internasional dimana Andri Tedjadharma sebagai salah satu pemegangsahamnya tidak pernah menerima uang yang diperjanjikan namun dicairkan ke rekening lain atas nama Centris International Bank.

Menanggapi adanya nama Bank Centris Internasional dan Centris International Bank di Bank Indoneisia, Maruarar Siahaan mengindikasikan adanya pencurian uang negara atau korupsi.

“Sudah jelas kok dikatakan bukan dia yang menerima uang itu, tapi bank yang lain dan itu ada di Bank Indonesia berdasarkan audit BPK yang otentik, tapi tidak ada tanggapan dari pemerintah. Sekarang ini dirampas dia, tidak dilindungi dalam kepastian hukum yang adil. Tapi kita persoalkan tidak dijawab oleh PUPN dan Pemerintah. Indonesia ini arahnya kemana kalau begini ?”, singgung Maruarar terkait keseriusan pemerintah dalam menindak koruptor.(dik)