Jakarta, Reportasenews – Bank Centris Internasional adalah salah satu bank yang dibeku operasikan (BBO)  oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) atas rekomendasi Bank Indonesia pada April 1998 silam. Saat ditutup, Bank Centris masih terikat perjanjian dengan BI yang akan berakhir pada Desember 1998.

Perjanjian jual beli promes nasabah disertai jaminan antara Bank Centris dengan Bank Indonesia dituangkan dalam akte notaris nomor 46. Dalam perjanjian tersebut keduabelah pihak sepakat bank centris menyerahkan promes nasabah senilai 492 miliar rupiah dan jaminan lahan seluas 452 hektar yang telah dihipotik atas nama Bank Indonesia. Selanjutnya BI akan memindah bukukan atau mengkreditkan dana sebesar 490 miliar rupiah ke rekening bank Centris.

Perjanjian tersebut cidera karena ditengah jalan BI merekomendasikan BPPN untuk menutup Bank Centris. BI kemudian menjual cessie promes nasabah yang telah diterima dari Bank centris ke BPPN yang dituangkan dalam akte 39.

Atas dasar cessie tersebut BPPN menggugat dan menuntut pertanggungjawaban Bank Centris di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun dengan bukti otentik audit BPK terhadap Bank Centris Internasional di Bank Indonesia yang dibawa Jaksa Penuntut Umum sebagai pengacara negara justru membuka aib Bank Indonesia.

Dalam audit tersebut Bank Indonesia terbukti tidak pernah memindahbukukan dana ke rekening Bank Centris Internasional sesuai yang diperjanjikan, namun mencairkan uangnya ke rekening lain jenis individual atas nama Centris International Bank.

Pada akhirnya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara no 350/Pdt.G/2000/PN.Jak.Sel memenangkan Bank Centris Internasional. Upaya banding BPPN di Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta kembali ditolak karena gugatannya dianggap terlalu prematur dan diputuskan N-O.

Sejak itulah kasus Bank Centris redup. 20 tahun kemudian setelah dibentuk Satgas BLBI pada tahun 2022, muncul Salinan Putusan MA 1688.k/pdt/2003 yang digunakan dasar Satgas dan PUPN sebagai kepanjangan tangan BPPN untuk menyita dan melelang aset pribadi dan keluarga pemegang saham Bank C.entris Internasional.

Sementara Mahkamah Agung sendiri melalui surat resminya menyatakan tidak pernah menerima permohonan kasasi dari BPPN yang diajukan Kejaksaan Agung. Fakta fakta diatas muncul dalam persidangan uji materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Perpu PUPN) di Mahkamah Konstitusi, namun tak satupun institusi pemerintahan dan pihak terkait dalam hal ini PUPN dan Bank Indonesia menanggapi fakta-fakta tersebut.

Berikut jalannya persidangan Mahkamah Konstitusi yang perlu diketahui masyarakat luas sebagai bentuk pengawasan dan kritik terhadap kinerja aparat pemerintahan.

Andri Tedjadharma, pemohon uji materil Perpu PUPN menanggapi keterangan yang disampaikan Ketua PUPN Pusat, Rionald Silaban dalam persidangan di hadapan majelis hakim Mahkamah Konstitusi, rabu (28/5) adalah berbahaya dan menyesatkan.

“Dihadapan Majelis Hakim, Rionald Silaban telah membangun narasi seolah saya telah mengambil uang rakyat dan mencoba menghambat pengembalian padahal rakyat butuh untuk pembangunan. Ini sebuah narasi sangat jahat dan menyesatkan. Saya justru adalah korban dari oknum pemerintah yang tidak membayarkan atas promes nasabah yang diperjualbelikan. Mereka juga telah menggelapkan aset jaminan seluas 452 hektar”, bantah Andri.

Andri melanjutkan, Ketua PUPN yang kala itu juga menjabat sebagai Ketua Satgas BLBI selalu memframing dan menuduh dirinya sebagai obligor nakal yang disebarluaskan di media masa tanpa bisa membuktikan bahwa dirinya atau Bank Centris Internasional menerima uang.

“Kalau bicara saja tanpa bisa membuktikan dengan menunjukkan rekening koran bahwa Bank Centris Internasional benar telah menerima uang, itu adalah fitnah yang sangat keji. Padahal rekening koran dan semua dokumen Bank Centris Internasional dalam penguasaan mereka sejak dibekuoperasikan tahun 1998”, ungkap Andri.

Dr. Maruarar Siahaan, saksi ahli uji materi Perpu 49 tahun 1960 di sidang Mahkamah Konstitusi. (foto. dok MKRI)

Sementara Maruarar Siahaan sebagai Ahli yang juga dihadirkan Pemohon menerangkan bahwa kepastian hukum adalah kepastian yang adil. Ia menekankan atas perkara konkret yang dihadapi Pemohon, sebagai salah satu pemeganmg saham Bank Centris Internasional ternyata  dari hasil audit BPK yang otentik dijadikan bukti di persidangan Perkara Nomor 350 di Pengadilan Negari Jakarta Selatan bank Indonesia tidak mengkreditkan uangnya ke Bank Centris Internasional melainkan mencairkannya ke rekening Centris international Bank.

“Saya marah karena jelas kok dikatakan menuurut audit BPK yang otentik bahwa bukan bank pemohon yang menerima uang itu tapi bank lain yang ada di bank indonesia. Menurut saya ini justru ada pencurian atau korupsi kalau itu pejabat negara, tapi kenapa  tidak ada tanggapan dari pihak pemerintah dalam hal ini PUPN. Ini menjadi masalah besar, karena kepastian hukum adalah kepastian yang adil”, ungkap Maruarar

Mantan Hakim Konstitusi periode 2003-2008 ini juga mempertanyakan adanya dua nomor rekening dengan nama bank centris di bank Indonesia satu bahasa inggris Centris International Bank dan satu lagi bahasa Indonesia Bank Centris Internasional. Kenapa tidak ada yang menindak.

“Bagaimana anda akan membiarkan ini, semua pura-pura tidak tau, termasuk PUPN. Kalau ada orang bisa mengambil uang di Bank Indonesia artinya  di lembaga-lembaga negara yang penting ini juga harus diperhatikan. Kalau benar sekarang pemerintah ingin memberantas pencurian uang negara itu gampang dilihat siapa yang melakukan di bank indonesia pada saat itu”, tegasnya.

Maruarar juga heran dengan kontradiktif adanya Putusan MA yang dijadikan dasar PUPN di satu sisi, sementara di sisi lain ada surat resmi MA mengatakan tidak pernah menerima permohonan kasasi dari BPPN yang diajukan melalui Kejaksaan Agung. Karena lama terbit putasannya hampir 20 tahun, PUPN kemudian menagih dari 800 miliar menjadi 4,5 triliun.

“ Jadi saya tidak mengerti apa kepastian hukum yang adil di sini. Kenapa kita tidak pernah membahas kronologis munculnya putusan MA yang dijadikan dasar PUPN. Persoalannya sekarang apakah kita serius akan menegakakan hukum yang berkeadilan atau justru kita ikut mendukung pencurian di negara ini?”, ungkapnya heran.(dik)