Jakarta, Reportasenews – Pengadilan Tinggi Jakarta memvonis mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar 18 tahun penjara, 2 tahun lebih berat dari vonis majelis hakim Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.  Sidang putusan banding Zarof Ricar digelar di Pengadilan Tinggi Jakarta, Jakarta Pusat, Kamis (24/7) dengan hakim ketua Albertina, hakim anggota Budi Susilo dan Agung Iswanto.

“Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 18 tahun dan denda sejumlah Rp 1 miliar dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,” demikian  hakim membacakan amar putusan banding Zarof Ricar.

Sebelumnya, Majelis hakim tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Zarof bersalah melakukan permufakatan jahat dan menerima gratifikasi terkait vonis bebas Gregorius Ronald Tannur dalam kasus kematian Dini Sera Afrianti.

Zarof sebagai mantan pejabat Mahkamah Agung terbukti menjadi ‘markus’ atau makelar kasus. Keterlibatan Zarof dalam bebasnya Ronald Tannur bermula ketika pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat, menghubunginya dan memintanya membantu pengurusan perkara kasasi Ronald Tannur.

Lisa Rachmat meminta Zarof Ricar mengupayakan Hakim Agung pada Mahkamah Agung tetap menyatakan Ronald Tannur tidak bersalah dalam keputusan kasasinya. Bagaimana aksi Zarof bisa mengangkangi marwah Mahkamah Agung. Artinya bukan tidak mungkin hal serupa masih bisa terjadi di lembaga yang dianggap benteng terakhir masyarakat memperoleh keadilan.

Kontroversi Putusan Mahkamah Agung Raib Selama 20 Tahun

Putusan Mahkamah Agung no 1688K/pdt/2003 adalah putusan yang tidak pernah ada selama hampir 20 tahun kemudian tiba-tiba muncul dan dijadikan dasar PUPN untuk menyita aset-aset pribadi dan keluarga Andri Tedjadarma sebagai salah satu pemegang saham Bank Centris Internasional. Dengan putusan MA yang janggal dan patut dicurigai tersebut Andri telah dilanggar hak-haknya sebagai warga negara.

Merasa dizolimi oleh PUPN ia kemudian mengajukan permohonan uji materi terhadap Perpu no 49 tahun 1960 tentang kewenangan PUPN di Mahkamah Konstitusi. Dalam persidangan di MK, kontroversi putusan MA kembali mencuat saat Dr Maruarar Siahaan menyampaikan keterangannya sebagai saksi ahli.

“Ini dasyat sekali ada putusan kasasi  no 1688K/pdt/2003 padahal Mahkamah Agung telah mengatakan tidak pernah menerima permohonan kasasi perkara banding yang diajukan oleh BPPN atau PUPN melalui Kejaksaan Agung.  Kemudian PUPN mengkoreksi jumlah utang dari 800 miliar menjadi 4,5 triliun karena lama putusannya baru ditemukan”, demikian keterangan maruarar di hadapan majelis hakim MK

Keterangan Maruarar terkait putusan MA yang sarat kejanggalan langsung mendapat tanggapan dari Hakim Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Suhartoyo. Menurutnya ini harus dikonfirmasi langsung ke Mahkamah Agung.

“dahsyat sekali ada putusan tidak dimohonkan ke kasasi ke Mahkamah Agung, kok tiba-tiba ada putusannya ini kan pertanyaan besarnya menjadi PR Mahkamah Agung”, kata Suhartoyo menanggapi Maruarar.

Permufakatan jahat Zarof Ricar untuk mempengaruhi putusan hakim MA adalah perbuatan yang sangat jahat. Menggunakan putusan kontroversi dan sarat kenjanggalan untuk merampas aset warga negara apa bedanya ?. Putusan MA kontroversi ini bahkan terjadi setelah kasus Zarof Ricar terbongkar.

Marwah Mahkamah Agung harus terus dijaga dari oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang dapat merusak kredibilitas MA sebagai banteng terakhir masyarakat bergantung untuk meperoleh kepastian hukum yang adil.(dik)