Jakarta, Reportasenews – Badan Penyehatan Perbankan Nasional secara resmi telah melikuidasi 50 Bank Beku Operasi (BBO) dan Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) pada April 2004 silam. Sementara 2 BBO/BBKU yakni Bank Prasidha dan Bank Ratu masih menunggu selesainya masalah hukum.
Bank-bank tersebut merupakan bank-bank yang ditutup pemerintah pada masa krisis ekonomi tahun 1998 yang kemudian seluruh penanganannya telah diambil alih oleh BPPN. Selanjutnya BPPN-lah yang menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham.
Artinya kelima puluh bank yang dilikuidasi tidak ada lagi atau sudah selesai masalah hukumnya. Sebelumnya BPPN juga pernah menggunggat Bank Centris Internasional di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada tahun 2000 dan telah Inkhrah di Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta tahun 2002 dengan putusan N-O karena gugatannya dianggap terlalu prematur. Karena itulah BPPN bisa turut melikuidasi Bank Centris pada 2004.
Anehnya 17 belas tahun kemudian setelah terbentuknya Satuan Tugas Penanganan hak Tagih Negara Dana BLBI (Satgas BLBI) pada tahun 2021, muncul Salinan putusan Mahkamah Agung pada tahun 2022 yang digunakan Satgas dan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta I sebagai dasar untuk menyita harta pribadi dan keluarga Andri Tedjadharma sebagai salah satu pemegang saham Bank Centris.
Padahal saat pembekuan operasi pada 4 April 1998, Bank Centris masih terikat perjanjian dengan Bank Indonesia dan telah menyerahkan promes nasabah sebesar 492 miliar rupiah dan jaminan lahan 452 hektar yang telah dihipotek atas nama Bank Indonesia. Menurut Andri setelah Bank Centris dibekukan hingga sekarang sama sekali tidak ada pertanggungjawaban terkait promes nasabah dan jaminan yang teleh diserahkan ke BI.
“Saya akan menuntut pertanggungjawaban mereka terhadap jaminan, promes nasabah, dokumen dan aset Bank Centris karena sampai hari ini sejak penguasaan tanggal 4 april 1998 sama sekali tidak ada pertanggungjawaban kepada pemilik. Dengan Salinan Putusan MA bodong itu mereka seenaknya menyita harta pribadi dan keluarga yang tidak ada kaitannya dengan masalah Bank Centris dan tidak dijamin kan kemana pun. Ini perbuatan yang sangat keji dan zalim” geram Andri.
Munculnya salinan Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 1688K/Pdt/2003, dipenuhi kejanggalan, bukan saja dari segi waktu yang hampir dua dekade, tapi juga dari isi salinan putusan.
Sejumlah bukti dan kesaksian yang menguatkan dugaan putusan ini tidak sah dan mengandung manipulasi serius. Berikut adalah kejanggalan yang sangat gamblang :
- Penyerahan Relaas yang Tidak Lazim
Proses penyerahan relaas untuk putusan ini memakan waktu hampir dua dekade, sebuah durasi yang tidak masuk akal dalam sistem hukum. Selain itu, terdapat inkonsistensi prosedural, termasuk adanya relaas bernomor 1689K/Pdt/2022, sementara salinan putusan yang diklaim adalah nomor 1688K/Pdt/2003.
- Kejanggalan dalam Isi Putusan
Selain kesalahan fatal dalam penulisan tanggal, putusan Pengadilan Tinggi DKI, juga penggunaan UU No. 10 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Bengkayang yang digunakan dalam pertimbangan hukum. Undang-undang ini jelas tidak relevan dengan kasus perbankan.
- Surat Resmi Bantahan Mahkamah Agung
Mahkamah Agung secara resmi juga menyatakan bahwa mereka tidak pernah menerima permohonan kasasi dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) terkait perkara ini. Fakta ini membuktikan bahwa putusan 1688K/Pdt/2003 tidak memiliki dasar administratif di MA.
- Kontradiksi dalam Isi Putusan
Isi putusan yang diklaim menyatakan: Akta No. 46 dan Akta No. 47 dianggap sah dan berharga. Akta No. 46 menyebut adanya promes nasabah PT Bank Centris Internasional senilai Rp492,2 miliar dan jaminan berupa tanah seluas 452 hektar yang sudah dipasang hak tanggungan atas nama Bank Indonesia. Namun, di poin lain, Bank Centris diwajibkan membayar Rp812 miliar tanpa mempertimbangkan aset dan jaminan tersebut. Ini jelas kontradiktif dan menimbulkan pertanyaan besar.
- Kesaksian Mantan Ketua Mahkamah Agung, Prof Bagir Manan
Prof Bagir Manan, yang namanya tertulis dalam salinan putusan kasasi sebagai Ketua Majelis Hakim, bersama dua Hakim Anggota yakni Dirwoto SH dan Dr Artidjo Alkostar SH, setelah dikonfirmasi juga secara tegas menyatakan, “Itu bukan keputusan saya.” Kesaksian dan pernyataan Prof Bagir Manan ini semakin memberikan ketegasan putusan 1688 tersebut memang bukan putusan MA, dimana Bagir Manan tertera sebagai Ketua Majelis Hakim.
Pertanyaan besar yang harus dijawab adalah mengapa putusan ini bisa digunakan sebagai dasar tindakan hukum, sementara otentisitasnya sangat diragukan? Kasus ini bukan hanya soal keadilan bagi Bank Centris, tetapi juga soal kredibilitas lembaga peradilan Indonesia. Apakah negara akan berdiam diri atas manipulasi yang terang-terangan ini? (dik)

