Jakarta, Reportasenews – Sidang uji materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitya Urusan Piutang Negara (Perpu PUPN) kembali digelar, di gedung peradilan Mahkamah Konstitusi, Medan Merddka Barat, Jakarta, Rabu (28/5/2025). Sidang keempat Perkara Nomor 128/PUU-XXII/2024 ini beragendakan mendengarkan keterangan dari Pihak Terkait PUPN serta Saksi dan Ahli dari Pemohon.
Saksi ahli, Nindyo Pramono yang dihadirkan Andri Tedjadharma sebagai Pemohon mengatakan pemegang saham tidak bisa ditetapkan sebagai penagung hutang tidak pernah menandatangani personal guarantee.
“Jika terdapat seorang pemegang saham suatu Perseroan Terbatas Perbankan yang namanya tidak pernah terdaftar dalam PKPS (Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham), karena tidak perlu menandatangani MSAA (Master Settlement and Acquitition Agreement), MRNIA (Master Refinancing and Note Issuance Agreement), APU (Akta Pengakuan Utang) maupun Personal Guarantee, kemudian secara sepihak ditetapkan sebagai penanggung utang oleh PUPN, maka penetapan tersebut merupakan penetapan yang tidак tерat menurut hukum”, jelas Nindyo di depan Majelis hakim Konstitusi
Sementara Maruarar Siahaan sebagai Ahli yang juga dihadirkan Pemohon menerangkan bahwa kepastian hukum adalah kepastian yang adil. Ia menekankan atas perkara konkret yang dihadapi Pemohon, sebagai salah satu pemeganmg saham Bank Centris Internasional ternyata dari hasil audit BPK yang otentik dijadikan bukti di persidangan Perkara Nomor 350 di Pengadilan Negari Jakarta Selatan bank Indonesia tidak mengkreditkan uangnya ke Bank Centris Internasional melainkan mencairkannya ke rekening Centris international Bank.
“Saya tadi marah karena jelas kok dikatakan menuurut audit BPK yang otentik bahwa bukan bank pemohon yang menerima uang itu tapi bank lain yang ada di bank indonesia. Menurut saya ini justru ada pencurian atau korupsi kalau itu pejabat negara, tapi kenapa tidak ada tanggapan dari pihak pemerintah dalam hal ini PUPN. Ini menjadi masalah besar, karena kepastian hukum adalah kepastian yang adil”, ungkap Maruarar
Ia melanjutkan tidak boleh ada perampasan tanpa due process of law, artinya memberikan kesempatan untuk mengemukakan dasar hukum dan memberikan bukti serta proses ini harus dilakukan secara adil.
“Apapun aturan konstitusi menjamin tidak boleh merampas nyawa, martabat, dan harta seseorang tanpa du proces. Artinya dia bisa memberi jawaban menanggapi dan memberi bukti dan pihak lawan bisa memberi jawaban tanggapan dan bukti, kemudian baru diputus oleh pihak yang netral yaitu pengadilan”, lanjut Maruarar.
Mantan Hakim Konstitusi periode 2003-2008 ini juga mempertanyakan adanya dua nomor rekening dengan nama bank centris di bank Indonesia satu bahasa inggris Centris International Bank dan satu lagi bahasa Indonesia Bank Centris Internasional. Kenapa tidak ada yang menindak.
“Bagaimana anda akan membiarkan ini, semua pura-pura tidak tau, termasuk PUPN. Kalau ada orang bisa mengambil uang di Bank Indonesia artinya di lembaga-lembaga negara yang penting ini juga harus diperhatikan. Kalau benar sekarang pemerintah ingin memberantas pencurian uang negara itu gampang dilihat siapa yang melakukan di bank indonesia pada saat itu”, tegasnya.
Maruarar juga heran dengan kontradiktif adanya Putusan MA yang dijadikan dasar PUPN di satu sisi, sementara di sisi lain ada surat resmi MA mengatakan tidak pernah menerima permohonan kasasi dari BPPN yang diajukan melalui Kejaksaan Agung. Karena lama terbit putasannya hampir 20 tahun, PUPN kemudian menagih dari 800 miliar menjadi 4,5 triliun.
“ Jadi saya tidak mengerti apa kepastian hukum yang adil di sini. Kenapa kita tidak pernah membahas kronologis munculnya putusan MA yang dijadikan dasar PUPN. Persoalannya sekarang apakah kita serius akan menegakakan hukum yang berkeadilan atau justru kita ikut mendukung pencurian di negara ini? Saya menjadi ragu bagaimana program Presiden Prabowo yang mengatakan akan mengejar koruptor samapi antartika”, ungkapnya heran.
Rionald Silaban selaku Ketua Panitia Urusan Piutang Negara Pusat (Ketua PUPN) dalam keterangan Pihak Terkait mengatakan PUPN bertugas untuk mengurus Piutang Negara/Daerah yang diserahkan oleh Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah. Dalam menjalankan tugas tersebut, PUPN berdasar pada UU PUPN berikut peraturan turunannya. Pada prinsipnya, seluruh piutang negara dan daerah yang telah macet harus diserahkan kepada PUPN untuk diurus secara optimal.
Sementara Andri Tedjadharma sebagai pemohon uji materi menyatakan bahwa prinsip dasar permohonannya adalah tidak mencari kesalahan dan tidak menyalahkan siapapun. Dirinya hanya ingin mencari dan mengemukakan kebenaran yang ansich benar yang di akui semua pihak dengan dasar dan bukti yang tidak terbantahkan.
Ia melanjutkan sebagai bagian dari bangsa ini kalau merasa ada hal yang kiranya kurang berkenan di dalam perbuatan dan perlakuan maka ada sarana pengadilan dan lain-lain sarana termasuk politik, tapi apabila sudah berupaya maksimal masih tidak ada jalan keluar juga, kita jadi berpikir bahwa bukan mereka yang zolim terhadap kita tapi mungkin karena undang-undang yang di pakai bermasalah.
“Sekiranya memang ada ketidakselarasan dengan UUD, maka itu kewajiban kita sebagai warga negara mengusulkan untuk di uji materi di Mahkamah Konstitusi, dan di tempat inilah bisa terjadi perbaikan atas undang-undang itu jika terbukti melanggar konstitusi yang kita akui bersama”, tutup Andri. (dik)

