Bonti, reportasenews.com – Malam merayap perlahan di Dusun Petuo. Langit yang awalnya terang mulai menggelap, ditaburi ribuan bintang yang berkelip seperti permata di hamparan semesta. Angin gunung berbisik lembut di antara pepohonan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan rimbun yang menenangkan. Dari kejauhan, suara gemercik air mengalun lembut, mengiringi malam yang semakin larut.
Di Bukit Buhunuah, waktu terasa berjalan lebih lambat. Tak ada kebisingan kota, tak ada gedung-gedung menjulang, hanya ada hamparan alam yang seolah menjaga kisah-kisah lama yang bersemayam dalam sunyi. Suasana alam pedesaan yang tenang menjadikan kawasan ini surganya para pendaki. Para pendaki mulai merayap berjalan kaki menuju puncak jelang malam. Mereka mendirikan tenda dan berkemah di puncak Bukit Buhunuah yang memiliki ketinggian 375 mdpl.
“Lokasi untuk berkemah cukup luas, di puncak seperti dataran yang luas, meski sedikit bekerja keras merebahkan ilalang,” kata Aril, pendaki asal Kembayan. Satu per satu, mereka datang menyusul di puncak, dan mulai perlahan-lahan membiarkan diri mereka terlelap dalam damai. Mereka menanti esok pagi, saat momen istimewa yang dinanti akan muncul di hadapan mereka.
Akhir pekan kemarin, di tanggal 8 – 9 Februari 2025, para pendaki yang datang berkunjung ke puncak Bukit Buhunuah mencapai 166 orang yang rata-rata adalah generasi gen-Z, ditambah warga lokal. Mereka ingin merasakan sensasi berada di puncak Bukit Buhunuah, terutama di momen saat langit mulai memucat di ufuk timur, kabut tipis bergelayut di kaki bukit, perlahan-lahan berubah menjadi lautan awan yang menyelimuti lembah dan perbukitan di sekelilingnya.
Saat matahari merayap naik, sinarnya menyapu putihnya kabut, menciptakan pemandangan bak negeri di atas awan. Di kejauhan, suara burung mulai bersahutan, seperti menyambut pagi yang begitu indah di Bukit Buhunuah.
“Momen ini yang kami tunggu, namun lautan awan yang kami nantikan zonk alias tidak tampak,” kata Jiki, founder Negeri diawan yang menjadi inisiator trip bareng ke Bukit Buhunuah.
Jiki mengatakan, meski tak menikmati sensasi melihat lautan awan di puncak, namun pendakian perdana ke Bukit Buhunuah ini terbilang tak menemui banyak kendala.
“Ya, kendala kecil kemarin ada beberapa rombongan yang tersesat ke ladang warga lokal. Sebelumnya, saya udah bilang sama mereka jangan dulu naik karena belum ada tim dari kami yang mandu. Nah mereka yang sesat ini karena mereka nekat naik duluan, om. Tapi, Puji Tuhan udah kembali di jalur yang benar, om,” ungkap Jiki.
Jiki menambahkan, karena masih perdana banyak tanda-tanda di jalur yang belum diberi plang atau semacam penanda jalur pendakian yang bisa menjadi petunjuk para pendaki.
“Ini juga kemarin saya bingung om, awalnya kemarin kan ini saya cuma buat trip bareng aja kayak explore gitu aja, sekalian bantu pihak pengelola bukitnya buat promosikan bukitnya lagi, tapi peminatnya membludak, ya bersyukur saja tidak ada kejadian yang perlu dikuatirkan terjadi,” terangnya.
Jiki berharap nantinya di trip selanjutnya, dapat berkolaborasi dengan semua pihak, dan untuk rencana terdekat adalah bekerjasama dengam pihak hanya untuk mengelar trip bareng saja.
“ Jadi gak perlu ada panitia segala atau semacam acara gitu. Tujuan saya kemarin-kan emang cuma buat trip bareng aja,” ujarnya.
Namun, keindahan bukit ini bukan hanya tentang lautan awan. Hutan yang masih perawan menyimpan harta lainnya—dua riam yang menyejukkan jiwa, Riam Sutabar dan Riam Meligang. Airnya jernih, sejuk, berkilauan terkena cahaya matahari yang menerobos di antara dahan pepohonan.
Suara air yang jatuh dari bebatuan seolah melantunkan melodi alam yang menenangkan. Duduk di tepian riam, merendam kaki di air yang dingin, sementara daun-daun berguguran terbawa arus kecil—sensasi yang sulit ditemukan di tempat lain.
Bukit Buhunuah bukan sekadar tempat untuk dikunjungi, tapi tempat untuk dinikmati dengan seluruh panca indera. Hembusan angin, nyanyian burung, gemericik air, serta hamparan hijau yang membentang sejauh mata memandang. Ini adalah tempat di mana waktu seakan berhenti, memberi ruang bagi siapa saja yang ingin melepaskan penat dan kembali menyatu dengan alam. Menghabiskan waktu di alam terbuka merupakan cara efektif untuk tetap waras dan menghilangkan kepenatan.
Meski baru beberapa bulan dibuka kembali, karena sebelumnya kawasan perkampungan dilanda banjir, destinasi alam ini telah menarik perhatian banyak wisatawan untuk berkemah. Namun, alam selalu memiliki aturannya sendiri. Mengunjungi Bukit Buhunuah bukan sekadar tentang menikmati keindahan, tetapi juga menghormati adat dan budaya yang telah lama dijaga oleh masyarakat setempat. Sebab keindahan yang lestari adalah keindahan yang dihormati dan dijaga bersama.
Bagi siapa pun yang merindukan ketenangan, Bukit Buhunuah adalah jawabannya. Sebuah perhentian singkat dari hiruk-pikuk dunia, sebuah perjalanan yang tidak hanya membawa tubuh mendaki, tetapi juga membawa jiwa lebih dekat dengan alam.(das)

