Tangerang Selatan, Reportasenews – Drama hukum melibatkan transaksi tanah seluas 4.672 meter persegi di kawasan Ciater, Tangerang Selatan, memasuki babak baru. Andy Widya Susatyo, pemilik sah tanah dan penerima kuasa dari para ahli waris, sebelumnya dilaporkan dan digugat atas perkara penipuan dan penggelapan.

Namun, Setelah lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging) dalam perkara pidana No. 937/Pid.B/2024/PN.Tng, hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung, Andi kembali dilaporkan atas perkara lain di Polres Jakarta Pusat, dan menghadapi masalah hukum di Polres Tangerang lagi.

Fakta-fakta yang sudah terungkap menunjukkan bahwa Andy justru korban dari skema yang diduga manipulatif. Dalam kasus pertama, Andi sempat mengalami penahanan di rutan dan tahanan kota sebelum akhirnya inkrah di Mahkamah Agung.

Peristiwa hukum dimulai pada Januari 2015. Andy, atas nama pribadi dan keluarga besarnya, menandatangani lima Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dengan PT Griya Anugerah Sejahtera (PT GAS), yang diwakili oleh Direktur Tommy Tri Yunanto. Nilai transaksi tanah mencapai lebih dari Rp7 miliar, namun dana pelunasan yang dijanjikan tidak kunjung dibayarkan.

Untuk mendorong realisasi pembayaran, disusunlah sebuah Perjanjian Batas Waktu pada 24 Februari 2015. Perjanjian itu ditandatangani oleh Andy dan Tommy, kemudian secara mengejutkan—sudah terdapat tanda tangan Komisaris PT GAS, Shielvia Septiani, padahal Andy belum pernah mengenalnya saat itu.

Perjanjian ini dibuat dan di-waarmerking oleh Notaris Lili Zahrotul Ulya, notaris yang sama yang menangani PPJB sebelumnya.

Namun, hingga jatuh tempo yang disepakati, 5 Maret 2015, tak ada satu rupiah pun yang dibayarkan. Andy pun mengeluarkan surat pembatalan PPJB yang juga ditandatangani oleh Tommy.

Bertahun kemudian, PT GAS dan pihak yang diduga berkepentingan tetap mengklaim bahwa PPJB tersebut sah dan tanah telah dibayar, dengan menunjuk pada dokumen PPJB 2015. Padahal, perjanjian itu telah dibatalkan secara hukum oleh surat yang ditandatangani sendiri oleh Tommy.

Fakta mengejutkan muncul pada 2021, ketika Andy mengetahui bahwa tanah miliknya telah dipakai dalam proyek perumahan oleh PT Karya Putra Soegama (PT KPS). Ketika ditagih, pihak PT KPS menyatakan bahwa pembayaran tanah telah dilakukan—bukan kepada Andy dan keluarga—tetapi kepada Tommy dan Shielvia yang mengklaim tanah tersebut atas dasar PPJB yang sudah dibatalkan.

Andy menggugat secara perdata. Namun saat persidangan berlangsung, suami Shielvia menyatakan bahwa tanda tangan istrinya dalam Perjanjian Batas Waktu dipalsukan. Gugatan ini kemudian bergulir ke ranah pidana: Andy dilaporkan atas dugaan pemalsuan tanda tangan oleh pihak-pihak yang justru belum pernah membayar tanah tersebut.

Upaya Kriminalisasi Gagal: Andy Menang di Pengadilan

Pada awal 2024, Andy dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging) dalam perkara pidana No. 937/Pid.B/2024/PN.Tng. Putusan ini menyebut tidak ada tindak pidana dalam perkara tersebut. Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Namun dalam putusan tingkat kasasi, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari jaksa, sekaligus menguatkan putusan PN Tangerang bahwa Andy tidak bersalah dalam tuduhan pemalsuan maupun penggelapan.

Kemenangan ini memperkuat dugaan bahwa Andy adalah korban kriminalisasi dari pihak-pihak yang selama ini justru belum memenuhi kewajiban hukum dan finansialnya.

Fakta bahwa Shielvia dan Tommy melaporkan Andy, sementara pelunasan tidak pernah terjadi, mengarah pada pertanyaan besar: apakah ini skema yang disengaja untuk menghindari pembayaran dan menguasai aset?

Mengapa aparat penegak hukum tidak melihat kronologi sejak 2015 secara utuh? Apakah benar keadilan hanya memihak pada yang lebih berkuasa secara finansial dan struktural?

Lebih mengherankan lagi, Andy menyatakan bahwa hingga kini ia tidak pernah menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) atas laporan Shielvia di Unit Harda Polres Tangsel. Informasi itu ia ketahui justru dari surat panggilan saksi, yang tanggalnya identik dengan laporan Tommy—mengindikasikan potensi permainan dalam prosedur hukum.

Kemenangan Andy di Mahkamah Agung adalah secercah harapan bagi masyarakat kecil yang berjuang melawan kuasa uang dan manipulasi hukum. Namun, kasus ini juga menjadi cermin buram betapa mudahnya sistem hukum dipakai untuk menekan dan mengkriminalisasi korban, hanya karena mereka menuntut haknya.

Andy kini berharap agar aparat penegak hukum tidak hanya berhenti pada pembebasan dirinya, tapi juga membuka penyelidikan baru terhadap pihak-pihak yang selama ini menghindar dari tanggung jawab membayar, namun justru melaporkan dengan tuduhan palsu.

“Jika hukum bisa dibeli, maka keadilan tinggal dongeng,” ujar Andy dengan nada getir.(rn)